iNews Complex – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengusulkan hukuman hingga 50 tahun penjara bagi para pelaku korupsi. Sebuah langkah yang terlihat tegas, mengingat korupsi adalah salah satu kejahatan paling merusak di Indonesia. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah hukuman ini cukup untuk memberi efek jera?
Korupsi tidak hanya soal angka yang hilang dari kas negara. Dampaknya jauh lebih besar—menghancurkan kepercayaan masyarakat, memperparah kemiskinan, hingga melemahkan pembangunan. Jika kita bandingkan dengan kejahatan narkoba yang bisa berujung pada hukuman mati, mengapa pelaku korupsi yang jelas-jelas merugikan negara hingga triliunan rupiah tidak mendapat hukuman serupa?
Banyak yang berpendapat bahwa hukuman 50 tahun adalah solusi yang terlalu ringan. Jika hukuman ini akhirnya hanya di atas kertas, tanpa pembenahan dalam sistem hukum dan pengawasan, maka upaya ini hanya akan menjadi angin lalu. Koruptor tetap merasa aman karena mereka tahu hukuman bisa dikurangi dengan remisi.
“Baca juga: Potongan Harga Listrik: Tutorial Diskon PLN sebesar 50%“
Kenapa Tidak Hukuman Mati untuk Koruptor?
Ide hukuman mati bagi koruptor sebenarnya pernah muncul sebelumnya. Namun, mengapa hingga kini belum diterapkan? Berikut beberapa alasan yang sering menjadi perdebatan:
- Korupsi dan Narkoba: Apa Bedanya?
Banyak yang berargumen bahwa korupsi jauh lebih merugikan dibanding narkoba. Jika narkoba merusak generasi bangsa secara langsung, korupsi merampas hak-hak masyarakat dan menghancurkan sistem negara. Jadi, mengapa pelaku narkoba bisa dijatuhi hukuman mati, sementara koruptor—yang sering kali mencuri uang negara untuk kepentingan pribadi—hanya dipenjara? - Perlakuan Istimewa untuk Kalangan Elit?
Pelaku korupsi sering kali berasal dari kalangan elit—pejabat tinggi, pengusaha besar, atau orang-orang dengan pengaruh besar. Sebaliknya, pelaku narkoba biasanya rakyat biasa yang menjadi korban situasi. Apakah ini alasan mengapa hukuman bagi koruptor lebih ringan? Jika benar demikian, apakah ini menunjukkan ketidakadilan dalam penegakan hukum di Indonesia? - Isu Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagian pihak menolak hukuman mati dengan alasan melanggar HAM. Namun, bukankah korupsi juga melanggar HAM rakyat yang seharusnya menikmati dana negara untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan?
Apakah 50 Tahun Penjara Langkah yang Tepat?
Hukuman 50 tahun yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto tampaknya menjadi jalan tengah bagi mereka yang menolak hukuman mati. Tapi, apakah ini cukup untuk memberikan efek jera?
- Durasi Hukuman yang Panjang
Hukuman 50 tahun tentu berat secara teori, terutama bagi pelaku korupsi yang sudah berusia tua. Namun, masalahnya adalah peluang remisi. Dalam praktiknya, pelaku korupsi sering mendapat remisi hingga masa tahanan mereka berkurang drastis. Tanpa pembenahan sistem remisi, hukuman 50 tahun ini bisa jadi hanya sebatas formalitas. - Efek Jera di Kalangan Pejabat
Hukuman berat seperti ini dapat memberi sinyal kuat bahwa pemerintah serius memerangi korupsi. Namun, efek jera hanya akan terasa jika ada konsistensi dalam penegakan hukum. Jika koruptor masih bisa “membeli” kebebasan melalui celah hukum, maka usulan ini tidak akan memberikan perubahan signifikan. - Reformasi Sistem Hukum
Hukuman berat tanpa reformasi sistem hukum hanya akan menjadi solusi jangka pendek. Sistem hukum Indonesia yang masih rawan korupsi di tingkat penyidikan, peradilan, dan penjara harus diperbaiki terlebih dahulu.
Rakyat: Korban atau Pemegang Kedaulatan?
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Namun, sering kali rakyat hanya menjadi korban kejahatan korupsi. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur malah masuk ke kantong pribadi para pejabat.
Jika hukuman berat seperti 50 tahun atau bahkan hukuman mati benar-benar diterapkan, hal ini bisa menjadi bentuk keadilan bagi rakyat. Namun, tanpa keberanian politik untuk melawan kalangan elit yang terlibat, rakyat hanya akan terus menjadi pihak yang dirugikan.
Apa Langkah Selanjutnya?
Jika pemerintah serius memberantas korupsi, maka hukuman berat seperti 50 tahun penjara harus didukung dengan langkah-langkah berikut:
- Reformasi Sistem Peradilan
Pastikan proses hukum berjalan transparan, dari penyidikan hingga vonis. Hilangkan peluang koruptor untuk “membeli” kebebasan. - Pengawasan yang Lebih Ketat
Perketat pengawasan di semua lini pemerintahan, terutama dalam pengelolaan anggaran. Teknologi seperti sistem keuangan berbasis digital bisa membantu meminimalkan korupsi. - Pendidikan Antikorupsi
Budaya antikorupsi harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan. Generasi muda perlu diajarkan untuk menghargai integritas dan kejujuran. - Hukuman Tambahan
Selain hukuman penjara, koruptor juga harus dikenai denda besar dan penyitaan seluruh aset yang didapat dari hasil korupsi. Hukuman tambahan seperti larangan menduduki jabatan publik seumur hidup juga perlu diterapkan.
Hukuman 50 tahun untuk koruptor adalah langkah tegas, tetapi masih jauh dari sempurna. Perdebatan tentang apakah hukuman ini cukup untuk memberi efek jera atau justru menunjukkan ketidakadilan bagi rakyat harus terus dikaji.
Jika korupsi benar-benar ingin diberantas hingga ke akar, maka langkah ini harus didukung dengan reformasi sistem hukum, pengawasan ketat, dan budaya antikorupsi yang kuat. Pada akhirnya, perang melawan korupsi adalah tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat.