iNews Complex – Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) kembali menjadi sorotan global setelah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Surat perintah tersebut juga mencantumkan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan komandan Hamas, Ibrahim al-Masri. Tuduhan yang diajukan terkait dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam konflik Gaza.
Keputusan ini memicu respons beragam dari komunitas internasional, khususnya negara-negara Eropa. Beberapa negara, seperti Belanda, Swiss, dan Swedia, telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan perintah ICC berdasarkan Statuta Roma dan hukum internasional. Namun, tidak semua negara sepenuhnya sepakat dengan langkah ini, sehingga menciptakan perdebatan sengit di antara para pemimpin Barat.
ICC, yang berbasis di Den Haag, mengeluarkan surat perintah penangkapan pada hari Kamis dengan tuduhan serius terhadap Benjamin Netanyahu, Gallant, dan al-Masri. Tuduhan tersebut mencakup:
Dalam kasus Ibrahim al-Masri, pihak Israel mengklaim bahwa ia telah meninggal dunia, tetapi ICC tetap memasukkan namanya dalam surat perintah sebagai bagian dari penyelidikan.
Delapan negara Eropa telah mengonfirmasi komitmen mereka untuk menindaklanjuti surat perintah penangkapan ini:
Keputusan ICC mendapat tanggapan campuran dari berbagai pemimpin dan tokoh politik. Geert Wilders, kepala Partai Kebebasan Belanda, mengkritik langkah ini dan menyebutnya sebagai ketidakadilan terhadap Israel. Ia berpendapat bahwa pihak berwenang Israel seharusnya mendapat dukungan internasional, bukan surat perintah penangkapan.
Di Italia, Menteri Pertahanan Guido Crosetto menyuarakan keberatan terhadap penyamaan Benjamin Netanyahu dan Gallant dengan Hamas. Namun, Italia tetap menyatakan akan mematuhi keputusan pengadilan.
Meskipun delapan negara Eropa telah menyatakan dukungannya, implementasi perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu menghadapi tantangan besar, antara lain:
Ahli hukum internasional menyebut keputusan ICC sebagai langkah penting dalam menegakkan akuntabilitas global. Namun, mereka juga mengingatkan bahwa pelaksanaan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin negara aktif seperti Benjamin Netanyahu adalah tugas yang kompleks.
“Ini adalah ujian bagi integritas hukum internasional. Jika negara-negara tidak mematuhi perintah ICC, maka kredibilitas pengadilan ini akan dipertanyakan,” ujar seorang profesor hukum dari Universitas Leiden.
Surat perintah ICC tidak terlepas dari konflik berkepanjangan di Gaza, di mana ribuan warga sipil telah menjadi korban. Langkah pengadilan ini dianggap sebagai upaya untuk menghentikan siklus kekerasan dan menegakkan keadilan bagi para korban.
Namun, para pendukung Israel berpendapat bahwa surat perintah ini bersifat bias, mengabaikan tindakan Hamas yang dianggap juga melanggar hukum internasional.
Langkah delapan negara Eropa untuk menegakkan surat perintah ICC terhadap Benjamin Netanyahu dan pejabat Israel lainnya mencerminkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip hukum internasional. Namun, perbedaan pandangan di antara negara-negara Barat menunjukkan bahwa isu ini tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga politik.
Hasil akhirnya akan menjadi ujian besar bagi ICC dalam menegakkan akuntabilitas global, serta untuk hubungan internasional di era modern.