iNews Complex – Pada akhir Desember 2024, Laut Merah menjadi saksi insiden yang mengguncang dunia militer internasional. Kapal perang USS Gettysburg secara keliru menembakkan rudal permukaan-ke-udara ke dua jet tempur F/A-18 Super Hornet milik Amerika Serikat sendiri. Kejadian itu terjadi setelah kru kapal salah mengira jet tersebut sebagai rudal jelajah anti-kapal yang ditembakkan kelompok Houthi dari Yaman. Dalam hitungan detik yang penuh ketegangan, keputusan fatal itu memicu tragedi sekaligus membuka luka besar dalam sistem pertahanan AS. Ketika tabir investigasi dibuka, terlihat bahwa insiden ini bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi cerminan kegagalan sistemik yang tersembunyi di balik operasi modern yang serba canggih. Di tengah ketegangan geopolitik, kesalahan ini meninggalkan trauma mendalam bagi para pilot yang terlibat dan pertanyaan besar bagi dunia militer.
Kesalahan Identifikasi yang Berujung Tragedi
Investigasi komando yang ditinjau Business Insider mengungkap bahwa kru USS Gettysburg berada dalam kondisi kewaspadaan tinggi saat insiden terjadi. Serangan udara dari Houthi beberapa hari sebelumnya membuat seluruh sistem senjata bekerja dalam mode respons cepat. Ketika dua jet F/A-18 melintas dalam misi pencarian drone musuh, radar kapal salah mengidentifikasi mereka sebagai ancaman masuk. Tanpa waktu untuk verifikasi lebih lanjut, kapal meluncurkan rudal yang kemudian menghantam satu jet dan hampir mengenai jet kedua. Sistem yang seharusnya memberikan perlindungan justru memicu kekacauan. Kesalahan ini memperlihatkan bagaimana tekanan operasi bisa menumpulkan penilaian situasional, bahkan dalam pasukan dengan teknologi dan pelatihan terbaik. Situasi yang seharusnya bisa dikelola berubah menjadi rangkaian keputusan keliru yang membawa konsekuensi fatal.
“Baca Juga : Jeritan Warga Gayo Aceh yang Kelaparan 5 Hari, Minta Bantuan PM Malaysia”
Tarikan Pelontar yang Menjadi Penyelamat Nyawa
Jet pertama yang ditembakkan rudal berasal dari Skuadron Tempur VFA-11 “Red Rippers”. Pilot dan perwira senjata di dalamnya segera menyadari ada yang tidak beres ketika rudal yang awalnya mereka sangka sedang mengejar drone tiba-tiba berbelok dan mengarah langsung ke pesawat mereka. Dalam momen-momen terakhir yang menegangkan, pilot menggambarkan bahwa ia “melihat hidupnya terlintas di depan mata”. Tak ada waktu berpikir panjang; mereka menarik tuas kursi pelontar sesaat sebelum jet senilai 60 juta dollar AS itu hancur. Keputusan sepersekian detik itu menyelamatkan nyawa mereka. Namun, pengalaman tersebut menyisakan trauma mendalam bagi awak jet yang tak pernah membayangkan akan diserang oleh kapal sekutunya sendiri. Perasaan kaget, marah, dan tak percaya menyatu dalam momen yang sulit dilupakan.
Jet Kedua yang Hampir Menjadi Korban Berikutnya
Tak lama setelah jet pertama jatuh, USS Gettysburg melepaskan rudal kedua. Kali ini, jet F/A-18 lainnya menjadi target. Berbeda dengan jet pertama, awak pesawat memilih bertahan dan mencoba mengecoh rudal yang mengejar mereka tanpa henti. Dalam situasi genting itu, mereka mengirimkan panggilan mayday sambil bermanuver tajam untuk menghindari tabrakan langsung. Rudal itu terus mengoreksi lintasan, seolah tak mau kehilangan target. Hanya beberapa kaki memisahkan jet dari kehancuran sebelum akhirnya rudal kehilangan tenaga dan meledak di laut. Momen tersebut menjadi batas tipis antara hidup dan mati. Para awak jet menggambarkan kejadian itu sebagai salah satu pengalaman paling menegangkan sepanjang karier mereka.
Ancaman Salah Tembak Ketiga yang Nyaris Terjadi
Yang lebih mengejutkan lagi, investigasi mencatat bahwa USS Gettysburg sempat mengunci target pada jet ketiga. Untungnya, peluncuran rudal tidak dilakukan karena kru mulai menyadari adanya anomali pada radar. Jika rudal ketiga ditembakkan, insiden ini bisa berujung bencana yang lebih besar dan mungkin memicu krisis internal yang mengguncang kredibilitas Angkatan Laut AS. Kegagalan bertubi-tubi dalam identifikasi ancaman menunjukkan adanya celah besar dalam sistem pertahanan yang seharusnya bekerja dengan akurasi tinggi. Keadaan itu juga memperlihatkan betapa tipisnya batas antara patroli rutin dan mimpi buruk dalam operasi di wilayah konflik. Hanya beberapa detik dan satu keputusan yang menunda lebih banyak korban jatuh.
Ketegangan Operasi AS di Laut Merah
Insiden ini terjadi saat kelompok tempur kapal induk USS Harry S Truman baru tujuh hari memasuki Laut Merah. Mereka ditempatkan untuk menggantikan operasi melawan Houthi, yang dikenal sering meluncurkan rudal dan drone ke kapal-kapal yang melintas. Suasana penuh tekanan dan kewaspadaan membuat kesalahan identifikasi menjadi semakin mungkin terjadi. Dalam situasi yang berubah cepat, ketelitian harus bertahan di tengah ancaman nyata dan bayangan ancaman yang sulit dibedakan. Para analis menilai bahwa faktor psikologis, tekanan situasional, serta sistem radar yang kurang responsif kemungkinan berperan dalam salah tembak tersebut. Ketegangan di kawasan itu telah memaksa setiap unit armada bekerja dalam intensitas tinggi, dan insiden ini menjadi pengingat bahwa bahkan pasukan paling maju pun rentan terhadap kesalahan fatal.
Pelajaran Pahit bagi Armada Modern Amerika Serikat
Insiden salah tembak di Laut Merah ini meninggalkan luka yang dalam bagi Angkatan Laut AS. Selain kerugian material besar, kejadian tersebut mengungkap kelemahan dalam protokol identifikasi dan manajemen ancaman. Para ahli pertahanan menilai bahwa peristiwa ini harus menjadi peringatan keras bahwa teknologi canggih tidak menggantikan akurasi penilaian manusia. Investigasi lanjutan akan menjadi kunci dalam memperbaiki sistem dan prosedur agar kejadian serupa tidak terulang. Bagi para pilot dan awak kapal, cerita ini menjadi pengalaman yang membentuk ulang cara mereka melihat risiko dalam operasi. Di balik kecanggihan armada modern, ada kisah manusia yang berjuang, bertahan, dan berharap tragedi serupa tak lagi terjadi.