iNews Complex – Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja kembali pecah dan kini merembet ke lima provinsi. Pada Selasa dini hari, tembakan diarahkan ke Provinsi Banteay Meanchey dan menewaskan dua warga sipil yang sedang melintas di Jalan Nasional 54. Sehari sebelumnya, empat warga sipil tewas di wilayah Preah Vihear dan Oddar Meanchey. Serangan yang terus berulang itu menciptakan kepanikan. Warga bergegas meninggalkan rumah mereka, sementara suara tembakan masih terdengar dari kejauhan. Situasi ini memperlihatkan betapa rapuhnya perbatasan, tempat ketakutan dan harapan selalu bertarung dalam waktu yang sama.
Evakuasi Massal dan Bertambahnya Korban
Pemerintah Thailand menyatakan bahwa sekitar 70 persen warga sipil di sepanjang perbatasan sudah dievakuasi. Proses itu berjalan cepat dan penuh kecemasan karena tembakan terus terdengar. Di tengah evakuasi, satu warga meninggal akibat kondisi medis bawaan. Hingga kini, total korban dari kedua negara mencapai 10 orang, terdiri dari warga sipil dan personel militer. Sementara itu, jumlah pengungsi sudah menyentuh angka 140.000 orang. Banyak keluarga meninggalkan rumah hanya dengan membawa barang seadanya. Mereka berharap bisa kembali suatu hari nanti, tetapi tidak tahu kapan perbatasan akan benar-benar aman.
Serangan Udara Thailand dan Tuduhan Ancaman Baru
Pada Senin, Thailand meningkatkan responsnya dengan melancarkan serangan udara dan mengerahkan kendaraan tempur ke area perbatasan. Langkah itu dianggap perlu karena Thailand menuduh Kamboja memobilisasi senjata berat dan memindahkan unit tempur ke posisi strategis. Menurut Angkatan Udara Thailand, beberapa target yang diserang merupakan gudang senjata dan jalur logistik yang dianggap mengancam wilayah mereka. Tuduhan ini membuat ketegangan makin meningkat. Meski setiap negara memiliki versinya sendiri, suara ledakan dan kepulan asap di area konflik menunjukkan bahwa situasi semakin sulit dihentikan.
Akar Konflik yang Tak Pernah Tuntas
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja bukan persoalan baru. Konflik ini berakar pada sejarah panjang sejak masa kolonial Perancis. Kedua negara saling mengklaim situs bersejarah di perbatasan, termasuk beberapa candi kuno. Perbedaan interpretasi atas peta lama membuat perdebatan terus terjadi. Generasi demi generasi tumbuh dengan warisan konflik yang tak kunjung selesai. Setiap letupan baru seperti mengulang luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Kondisi ini membuat kawasan perbatasan selalu berada dalam status siaga, bahkan ketika situasi terlihat tenang di permukaan.
Sikap Pemerintah Thailand di Tengah Tekanan
Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, menegaskan bahwa Thailand tidak menginginkan kekerasan. Namun, ia memastikan bahwa militer siap melindungi wilayah negara. Pesan ini menunjukkan upaya Thailand menjaga keseimbangan antara diplomasi dan pertahanan. Bagi warga yang mengungsi, pernyataan itu memberikan sedikit harapan tetapi belum cukup menghapus ketakutan mereka. Jadwal evakuasi terus diperbarui, dan pos-pos bantuan mulai didirikan. Pemerintah berfokus mencegah korban tambahan, sambil menunggu peluang membuka dialog lagi dengan Kamboja.
Bantahan Kamboja dan Seruan Menahan Diri
Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja membantah keras tuduhan bahwa mereka memulai bentrokan. Kamboja menegaskan masih mematuhi kesepakatan perbatasan dan memilih jalur damai. Mereka menyatakan tidak melakukan pembalasan, meski dua serangan sempat terjadi. Namun, kondisi lapangan tetap memanas. Warga terus mengungsi, dan pasukan kedua negara bersiaga penuh. Dalam situasi seperti ini, pernyataan resmi hanya memberi sedikit ketenangan. Harapan terbesar masyarakat sederhana saja: mereka ingin konflik berhenti dan ingin kembali hidup tanpa rasa takut akan suara tembakan di pagi hari.