iNews Complex – Di Kebun Binatang Ueno, Tokyo, Xiao Xiao dan Lei Lei tumbuh bukan sekadar sebagai Panda, tetapi sebagai simbol kehangatan hubungan Jepang dan China. Lahir pada 2021, si kembar ini menjadi penghibur di masa pandemi, saat dunia terasa lebih sunyi dan penuh jarak. Setiap gerakan mereka menarik senyum pengunjung, dari anak kecil hingga lansia. Namun, kehadiran yang dulu menghadirkan rasa nyaman kini justru mengantar perpisahan. Pemerintah Tokyo memastikan keduanya akan tetap berada di Ueno hingga 25 Januari 2026, sebelum akhirnya dipulangkan ke China. Meski upaya perpanjangan telah diajukan, keputusan tak berubah. Kepulangan mereka terasa lebih cepat dari rencana awal, dan meninggalkan kesan bahwa perpisahan ini bukan hanya soal satwa, tetapi juga perubahan suasana hubungan antarnegara.
Perpisahan Dini di Tengah Hubungan Bilateral yang Menghangat
Keputusan memulangkan Xiao Xiao dan Lei Lei datang di saat hubungan Jepang dan China mengalami ketegangan baru. Meski tak pernah diucapkan secara eksplisit, waktu kepulangan panda kerap dibaca sebagai isyarat diplomatik. Pemerintah Tokyo menyadari makna simbolis ini, namun tetap harus mengikuti kesepakatan yang berlaku. Panda dijadwalkan kembali ke China pada akhir Januari 2025, lebih awal dari tenggat Februari 2026. Situasi ini menciptakan perasaan campur aduk di kalangan masyarakat Jepang. Banyak yang merasa kehilangan ikon kebahagiaan, sementara sebagian lain melihatnya sebagai refleksi dinamika politik global. Dalam konteks ini, panda bukan lagi sekadar hewan lucu, melainkan bagian dari bahasa diplomasi yang halus namun sarat makna.
“Baca Juga : Strategi MIND ID Memperkuat Tata Kelola Bisnis Berintegritas dan Berkelanjutan”
Shin Shin dan Ri Ri, Perpisahan yang Lebih Dulu Mengiris Hati
Sebelum si kembar bersiap pulang, publik Jepang telah lebih dulu melepas induk mereka, Shin Shin dan Ri Ri. Sepasang panda dewasa itu kembali ke China pada September 2024 setelah bertahun-tahun menghuni Ueno sejak 2011. Alasan kepulangan mereka bersifat medis, karena usia yang menua dan tekanan darah tinggi. Namun, suasana perpisahan berubah menjadi momen emosional massal. Ribuan orang datang mengenakan kaus bergambar panda, membawa boneka, hingga berkemah semalaman demi melihat mereka untuk terakhir kalinya. Tangisan dan lambaian tangan menjadi pemandangan umum. Bagi banyak warga Tokyo, Shin Shin dan Ri Ri adalah bagian dari memori kolektif, saksi tumbuhnya generasi, dan simbol masa-masa damai yang kini terasa semakin jauh.
Diplomasi Panda dan Bahasa Halus Antarnegara
China telah lama menggunakan panda sebagai alat diplomasi lunak yang efektif. Kebijakan ini dikenal luas sebagai “diplomasi panda”, di mana pengiriman panda mencerminkan kedekatan hubungan bilateral. Meski sering dianggap hadiah, panda dan keturunannya tetap menjadi milik China. Jepang menjadi salah satu negara yang paling lama menikmati kehadiran simbol ini sejak normalisasi hubungan diplomatik pada 1972. Panda-panda tersebut berasal dari wilayah barat daya China dan menjadi maskot nasional tidak resmi. Kehadiran mereka kerap membuka ruang empati publik yang tak bisa dicapai oleh pernyataan politik. Ketika panda berkemas pulang, pesan yang tersirat terasa kuat. Hubungan yang mendingin sering kali dimulai dari simbol-simbol kecil yang diam-diam pergi.
Kekosongan Emosional di Negeri Sakura
Setelah kepergian Xiao Xiao dan Lei Lei, Jepang akan memasuki babak baru tanpa panda untuk pertama kalinya dalam lebih dari lima dekade. Kekosongan ini bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Kebun binatang Ueno, yang selama ini menjadi tujuan keluarga dan wisatawan, akan kehilangan daya tarik ikoniknya. Lebih jauh, masyarakat Jepang kehilangan simbol persahabatan lintas budaya yang selama ini terasa hangat dan menenangkan. Banyak warga menyebut panda sebagai “jembatan perasaan” antara dua bangsa. Tanpa mereka, hubungan Jepang–China terasa lebih dingin dan kaku. Panda yang dahulu menyatukan senyum kini meninggalkan ruang sunyi yang sulit diisi oleh simbol lain.
Ketika Politik Global Menyentuh Kehidupan Sehari-hari
Kisah kepulangan panda menunjukkan bagaimana dinamika geopolitik bisa menyentuh kehidupan masyarakat biasa. Anak-anak yang tumbuh dengan melihat panda kini harus belajar tentang perpisahan. Orang dewasa menyadari bahwa hubungan antarnegara tak selalu stabil, bahkan dalam hal yang tampak sederhana. Panda menjadi pengingat bahwa diplomasi tak hanya terjadi di meja perundingan, tetapi juga di ruang publik, kebun binatang, dan hati masyarakat. Saat hubungan memanas, dampaknya terasa hingga ke simbol paling lembut. Perjalanan pulang Xiao Xiao dan Lei Lei menandai akhir sebuah era, sekaligus membuka pertanyaan tentang masa depan hubungan Jepang dan China yang kini berdiri di persimpangan.