iNews Complex – Dalam beberapa pekan terakhir, lanskap psikologis Eropa berubah drastis. Para pejabat keamanan di berbagai negara kini secara terbuka meminta masyarakat bersiap menghadapi kemungkinan konflik bersenjata dengan Rusia. Pesan ini terasa mengejutkan, terutama bagi generasi yang tumbuh dalam era integrasi Uni Eropa dan stabilitas pascaperang dunia. Pemerintah, militer, hingga lembaga intelijen menyuarakan nada serupa: ancaman bukan lagi teori, melainkan skenario yang perlu diantisipasi. Pergeseran ini menandai berakhirnya keyakinan lama bahwa konflik besar di Eropa adalah bagian dari masa lalu. Ketegangan geopolitik yang terus meningkat memaksa benua ini meninjau ulang asumsi dasarnya tentang perdamaian, keamanan kolektif, dan kesiapan rakyat menghadapi situasi terburuk yang selama puluhan tahun dianggap mustahil.
Bayangan Sejarah dalam Retorika Para Pemimpin
Nada peringatan semakin tajam ketika Kanselir Jerman Friedrich Merz membandingkan langkah Rusia di Ukraina dengan strategi Adolf Hitler pada 1938. Pernyataan itu bukan sekadar retorika politik, melainkan sinyal kuat bahwa sejarah kelam Eropa kembali dijadikan cermin. Merz mengingatkan bahwa jatuhnya satu wilayah dapat menjadi awal dari ekspansi yang lebih luas, sebagaimana Sudetenland menjadi gerbang tragedi Eropa di abad ke-20. Analogi tersebut menggugah memori kolektif tentang kegagalan dunia mencegah agresi sejak dini. Di tengah pidato itu, terselip pesan emosional bahwa perdamaian tidak selalu bertahan hanya dengan diplomasi. Bagi banyak warga Eropa, kata-kata ini menimbulkan kegelisahan sekaligus kesadaran baru bahwa sejarah bisa berulang jika ancaman diabaikan.
“Baca Juga : Jejak Radikalisasi di Balik Tragedi Bondi Beach”
NATO dan Hitungan Waktu yang Mengkhawatirkan
Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte memperkuat kekhawatiran itu dengan peringatan bahwa konflik mungkin sudah berada “di depan pintu”. Ia menyebut Rusia berpotensi memiliki kesiapan militer untuk menantang negara-negara NATO dalam lima tahun ke depan. Pernyataan ini mengubah ancaman abstrak menjadi hitungan waktu yang nyata. Para perencana pertahanan kini berbicara tentang skala perang besar, termasuk kemungkinan korban yang sebelumnya tak pernah dibayangkan generasi sekarang. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Prancis bahkan mengakui bahwa negaranya belum siap secara psikologis menerima kehilangan warganya dalam jumlah besar. Pernyataan-pernyataan ini memperlihatkan betapa seriusnya perubahan cara pandang militer Eropa, dari pencegahan pasif menuju kesiapsiagaan aktif yang melibatkan masyarakat sipil.
Kekhawatiran Eropa terhadap Arah Kebijakan Amerika Serikat
Situasi semakin rumit oleh langkah pemerintahan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang mendorong upaya perdamaian Ukraina. Di Eropa, inisiatif ini justru memicu kecemasan. Sejumlah pejabat khawatir Ukraina akan ditekan menerima kesepakatan yang tidak seimbang, sehingga memperkuat posisi Rusia dalam jangka panjang. Gencatan senjata juga dinilai berisiko membebaskan sumber daya militer Rusia untuk dialihkan ke kawasan lain, termasuk sayap timur NATO. Kekhawatiran bertambah ketika strategi keamanan nasional AS terbaru tidak lagi secara eksplisit menyebut Rusia sebagai musuh. Bagi Eropa, sinyal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sejauh mana komitmen Amerika jika konflik meluas ke wilayah mereka.
Inggris Mengirim Pesan Jujur kepada Publik
Nada paling lugas justru datang dari Inggris. Kepala MI6 Blaise Metreweli menegaskan bahwa Rusia akan terus berupaya mengguncang stabilitas Eropa selama Presiden Vladimir Putin belum mengubah perhitungannya. Kepala Angkatan Bersenjata Inggris, Richard Knighton, bahkan menyebut kondisi saat ini sebagai yang paling berbahaya sepanjang karier militernya. Ia meminta publik bersiap menghadapi pengorbanan yang lebih besar. Pernyataan ini terasa personal, karena menyentuh langsung kehidupan keluarga dan warga sipil. Knighton mengingatkan bahwa lebih banyak rumah tangga mungkin akan merasakan arti pengabdian kepada negara. Pesan ini menandai perubahan komunikasi pemerintah, dari bahasa diplomatik menjadi kejujuran pahit tentang risiko nyata yang dihadapi masyarakat.
Akhir Ilusi Perdamaian Abadi di Benua Biru
Bagi Eropa, semua peringatan ini menandai runtuhnya ilusi perdamaian abadi yang dibangun sejak Perang Dunia II. Proyek integrasi Uni Eropa, yang didukung Amerika Serikat, awalnya dirancang untuk mencegah konflik besar melalui kerja sama ekonomi dan politik. Kini, fondasi psikologis itu diuji kembali. Eropa dihadapkan pada kenyataan bahwa perdamaian membutuhkan kesiapan, bukan hanya niat baik. Seruan untuk bersiap perang bukan berarti menginginkan konflik, melainkan pengakuan bahwa keamanan tidak lagi bisa dianggap remeh. Di tengah ketidakpastian global, benua ini sedang belajar kembali menghadapi kemungkinan yang selama puluhan tahun berusaha dilupakan.