iNews Complex – Hujan deras yang turun tanpa henti sejak akhir November hingga awal Desember 2025 di Indonesia berubah menjadi petaka bagi Pulau Sumatera. Banjir dan longsor besar melanda berbagai wilayah, menelan lebih dari 950 korban jiwa, meninggalkan ratusan orang hilang, serta memaksa lebih dari 770.000 warga mengungsi. Infrastruktur lumpuh, jalan dan jembatan terputus, sekolah rusak, dan kawasan permukiman berubah menjadi lautan lumpur. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sejumlah daerah terisolasi berhari-hari. Skala bencana ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi para penyintas. Dalam situasi darurat seperti ini, dunia biasanya bergerak cepat menawarkan bantuan. Namun, respons Indonesia justru mengambil arah yang berbeda dan mengundang perhatian internasional.
Keputusan Medan Mengembalikan Bantuan UEA
Sorotan publik menguat ketika Pemerintah Kota Medan mengembalikan bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab. Wali Kota Medan Rico Waas menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil karena pemerintah pusat belum membuka pintu bagi bantuan asing. Pernyataan itu disampaikan setelah koordinasi dengan BNPB, Kementerian Pertahanan, serta pemerintah provinsi. Bagi masyarakat awam, keputusan ini terasa kontras dengan kondisi lapangan yang masih penuh kebutuhan. Di posko-posko pengungsian, logistik terus disalurkan, tetapi skala bencana membuat kebutuhan terasa tak ada habisnya. Pengembalian bantuan ini bukan semata keputusan daerah, melainkan refleksi dari kebijakan nasional yang lebih besar. Di sinilah narasi kemanusiaan bertemu dengan pertimbangan negara, memunculkan perdebatan yang emosional dan kompleks.
“Baca Juga : Respons Apindo atas Imbauan Perusahaan Terapkan WFA pada Akhir Desember 2025”
Pemerintah Pusat Menegaskan Sikap Mandiri
Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyampaikan bahwa banyak pemimpin dunia menghubunginya untuk menawarkan bantuan. Namun, Indonesia memilih menangani bencana secara mandiri. Pernyataan ini menegaskan prinsip kedaulatan dan kepercayaan pada kapasitas nasional. Pemerintah menilai sumber daya dalam negeri masih mencukupi untuk merespons bencana. Sikap ini diperkuat oleh pernyataan Menteri Luar Negeri Sugiono dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Dari sudut pandang negara, keputusan ini mencerminkan kehati-hatian dan pengalaman masa lalu. Namun, bagi sebagian pihak, pernyataan “kami mampu” terdengar berat di tengah angka korban dan kerusakan yang begitu besar. Di sinilah muncul jarak antara bahasa negara dan perasaan publik yang masih diliputi duka.
Solidaritas Tulus dari Negara-Negara Timur Tengah
Respons negara-negara Timur Tengah datang cepat dan penuh empati. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, hingga Iran menyampaikan belasungkawa dan kesiapan membantu. Bagi kawasan ini, hubungan dengan Indonesia tidak sekadar diplomatik, tetapi juga emosional dan kultural. Solidaritas keagamaan, sejarah migrasi pekerja, serta kemitraan ekonomi membentuk ikatan yang kuat. Tawaran bantuan logistik dan tim darurat bukan simbol politik, melainkan refleksi kepedulian nyata. Organisasi Kerja Sama Islam pun menyerukan dukungan cepat. Karena itu, penolakan Indonesia memunculkan tanda tanya. Bagi mereka, bantuan kemanusiaan adalah panggilan moral, bukan agenda tersembunyi. Ketulusan ini membuat keputusan Indonesia terasa sulit dipahami, meski tetap dihormati sebagai hak negara berdaulat.
Pertanyaan Global dan Analisis Pengamat
Di mata pengamat internasional, sikap Indonesia memunculkan diskusi tentang jarak antara niat baik dan kebijakan domestik. Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat dari CELIOS menilai negara-negara Timur Tengah bertindak atas dasar belas kasih dan solidaritas tulus. Ia menyebut keengganan Indonesia menciptakan ketidaknyamanan diplomatik, meski tidak sampai merusak hubungan jangka panjang. Analisis ini menempatkan keputusan Indonesia dalam konteks yang lebih luas: negara besar dengan sejarah panjang kemandirian sering kali berhati-hati membuka pintu bantuan. Hubungan Indonesia dan Timur Tengah diyakini tetap kuat melalui jalur ibadah, migrasi, dan investasi. Namun, peristiwa ini menjadi cermin bagaimana kemanusiaan global dan perhitungan politik nasional kadang berjalan di jalur yang berbeda.
“Simak Juga : Dua WNI Terdiagnosis Kusta di Rumania, Alarm Kesehatan Global Setelah 40 Tahun”
Isu Lingkungan yang Membayangi Keputusan
Di balik keputusan menolak bantuan asing, isu tata kelola lingkungan ikut membentuk sikap pemerintah. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti tumpang tindih wilayah bencana dengan konsesi tambang, perkebunan, dan kehutanan industri di daerah hulu. Aktivis menilai deforestasi dan degradasi sungai memperparah banjir. Isu ini sensitif karena menyentuh kepentingan ekonomi dan politik. Kehadiran tim internasional dikhawatirkan membuka sorotan global terhadap persoalan lingkungan dan tata kelola sumber daya alam. Dalam konteks pemerintahan baru yang ingin menunjukkan kendali penuh, pengawasan semacam itu dianggap berisiko. Keputusan menutup diri dari bantuan asing pun tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan dengan dinamika lingkungan dan politik domestik.
Antara Kedaulatan Negara dan Empati Kemanusiaan
Bencana Sumatera 2025 memperlihatkan dilema klasik yang dihadapi banyak negara: menjaga kedaulatan sambil merespons tragedi kemanusiaan berskala besar. Indonesia memilih jalur kehati-hatian, menegaskan kemampuan internal dan pengalaman historis. Sementara itu, dunia merespons dengan empati dan tawaran bantuan tanpa syarat. Dua sikap ini tidak sepenuhnya bertentangan, tetapi berangkat dari logika yang berbeda. Di satu sisi, negara ingin berdiri tegak dan mandiri. Di sisi lain, bencana mengingatkan bahwa penderitaan manusia bersifat universal. Peristiwa ini meninggalkan pelajaran penting tentang bagaimana keputusan negara dibaca oleh dunia, serta bagaimana empati global bertemu dengan realitas politik nasional dalam satu momen yang penuh emosi.