iNews Complex – Harapan baru muncul dari Asia Tenggara ketika Thailand Kamboja sepakat membuka pembicaraan bilateral terkait konflik perbatasan yang telah berlangsung berbulan-bulan. Kesepakatan ini diumumkan Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, usai pertemuan para menlu ASEAN di Kuala Lumpur. Dalam suasana diplomasi yang hangat namun penuh kehati-hatian, Thailand menyatakan kesiapan untuk duduk bersama Kamboja dalam kerangka Komite Perbatasan Bersama atau Joint Boundary Committee. Pertemuan ini dijadwalkan berlangsung pada 24 Desember 2025, sesuai usulan dari pihak Kamboja. Meski Phnom Penh belum memberikan pernyataan resmi, langkah ini dipandang sebagai sinyal positif di tengah konflik yang telah menimbulkan korban jiwa dan gelombang pengungsian besar. Di balik meja perundingan, kedua negara membawa beban sejarah, tekanan publik, dan harapan kawasan akan stabilitas yang lebih langgeng.
Gencatan Senjata Tak Bisa Sekadar Pernyataan
Di tengah optimisme awal, Thailand mengingatkan bahwa dialog belum tentu langsung menghasilkan gencatan senjata. Sihasak menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak lahir dari deklarasi, melainkan dari tindakan nyata di lapangan. Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan Bangkok terhadap kesepakatan sebelumnya yang dinilai terlalu terburu-buru. Pada Oktober lalu, deklarasi gencatan senjata ditandatangani di bawah dorongan Amerika Serikat, menjelang kunjungan Presiden Donald Trump. Namun, kesepakatan tersebut gagal menghentikan baku tembak sepenuhnya. Bagi Thailand, proses damai harus dibangun secara bertahap dan realistis, dengan komitmen yang dapat dipantau dan dihormati bersama. Sikap ini menunjukkan pendekatan yang lebih hati-hati, namun juga menegaskan bahwa Thailand tidak menutup pintu dialog. Justru, pertemuan mendalam dianggap sebagai kunci agar kesepakatan yang lahir tidak kembali runtuh di tengah jalan.
Peran ASEAN dan Tekanan Diplomasi Global
Pertemuan di Malaysia menegaskan kembali peran ASEAN sebagai penengah konflik regional. Sebagai Ketua ASEAN, Malaysia berupaya menciptakan ruang dialog yang netral dan konstruktif bagi Thailand dan Kamboja. Namun, dinamika konflik ini juga tak lepas dari sorotan dan tekanan kekuatan global. Amerika Serikat dan China sama-sama mengklaim telah mendorong upaya deeskalasi, mencerminkan betapa strategisnya kawasan ini dalam peta geopolitik dunia. Bagi ASEAN, tantangannya adalah menjaga agar solusi tetap berakar pada kepemimpinan regional, bukan sekadar hasil intervensi luar. Dialog bilateral pekan ini menjadi ujian nyata bagi kredibilitas ASEAN dalam menjaga stabilitas kawasan. Jika berhasil, pertemuan ini bukan hanya meredakan konflik dua negara, tetapi juga memperkuat kepercayaan terhadap mekanisme diplomasi Asia Tenggara yang mengedepankan musyawarah dan konsensus.
Sikap Kamboja dan Syarat dari Bangkok
Menjelang pembicaraan, Kamboja menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan konflik melalui jalur damai, dialog, dan diplomasi. Pernyataan ini disampaikan sebelum pertemuan di Kuala Lumpur, memberi sinyal kesiapan Phnom Penh untuk mencari titik temu. Namun, Thailand datang dengan sejumlah syarat yang dianggap krusial. Bangkok menuntut Kamboja mengumumkan gencatan senjata terlebih dahulu dan bekerja sama dalam pembersihan ranjau darat di wilayah perbatasan. Isu ranjau menjadi perhatian serius karena mengancam keselamatan warga sipil dan aparat di kedua sisi. Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa meski sama-sama menginginkan damai, jalan menuju kesepakatan masih berliku. Dialog pekan ini diharapkan mampu menjembatani kepentingan tersebut, dengan menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama di atas kepentingan politik jangka pendek.
Korban Jiwa dan Luka Kemanusiaan
Di balik diplomasi tingkat tinggi, konflik Thailand-Kamboja meninggalkan luka kemanusiaan yang dalam. Hingga kini, sedikitnya 23 orang tewas di Thailand dan 20 orang di Kamboja akibat bentrokan bersenjata di perbatasan. Angka ini belum termasuk lebih dari 900.000 warga yang terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah, ladang, dan kehidupan sehari-hari mereka. Kamp-kamp pengungsian di kedua negara dipenuhi cerita kehilangan, ketakutan, dan ketidakpastian. Anak-anak, perempuan, dan lansia menjadi kelompok paling rentan dalam situasi ini. Setiap hari tanpa solusi berarti perpanjangan penderitaan. Karena itu, perundingan pekan ini membawa harapan besar, bukan hanya bagi pemerintah, tetapi juga bagi warga biasa yang mendambakan kembali hidup normal tanpa suara tembakan dan ancaman ranjau di halaman rumah mereka.
Akar Konflik yang Panjang dan Sensitif
Konflik perbatasan Thailand-Kamboja bukan persoalan baru. Sengketa ini berakar dari penetapan batas wilayah sepanjang sekitar 800 kilometer sejak era kolonial. Sejumlah kuil kuno yang terletak di wilayah perbatasan turut memperkeruh situasi, karena memiliki nilai sejarah, budaya, dan simbol nasional yang tinggi bagi kedua negara. Setiap klaim atas wilayah tersebut sering kali memicu emosi publik dan tekanan politik domestik. Kompleksitas inilah yang membuat penyelesaian konflik membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan keberanian politik. Dialog dalam kerangka Komite Perbatasan Bersama menjadi penting karena menyediakan ruang teknis dan historis untuk membahas detail batas wilayah secara rasional. Jika kedua pihak mampu menahan ego dan mengutamakan masa depan bersama, pertemuan ini bisa menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih berkelanjutan di kawasan.