iNews Complex – Myanmar kembali menggelar pemilihan umum di saat konflik bersenjata masih mengoyak hampir seluruh penjuru negeri. Junta militer menjadwalkan pemungutan suara dalam tiga tahap, dimulai pada akhir Desember 2025 hingga Januari 2026. Namun, pemilu ini jauh dari gambaran pesta demokrasi yang damai. Dentum senjata masih terdengar di banyak wilayah, sementara jutaan warga hidup dalam ketidakpastian. Media pemerintah menyebut pemilu sebagai langkah menuju stabilitas, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan negara belum sepenuhnya berada dalam kendali. Pemimpin junta Min Aung Hlaing bahkan mengakui pemilu tidak bisa digelar secara nasional. Di tengah kondisi ini, bilik suara berdiri bersebelahan dengan pos militer, menciptakan kontras tajam antara harapan demokrasi dan realitas konflik yang belum mereda.
Strategi Politik di Balik Tahapan Pemilu
Pemilu Myanmar dirancang bertahap, mencakup 265 dari total 330 wilayah administratif. Tahap pertama dan kedua mencakup 202 wilayah, disusul tahap ketiga di 63 wilayah lain. Sisanya dikesampingkan karena konflik aktif dengan kelompok perlawanan. Bagi banyak analis, desain bertahap ini bukan sekadar teknis, melainkan strategi politik. Dengan cakupan terbatas, junta dapat mengontrol proses dan hasil lebih ketat. Tanggal penghitungan suara pun belum diumumkan, menambah tanda tanya besar. Pemilu ini dinilai lebih menyerupai manuver administratif daripada upaya tulus memulihkan demokrasi. Dalam situasi ini, pemungutan suara tampak seperti alat untuk mengalihkan perhatian dari medan perang, sekaligus membangun narasi stabilitas yang rapuh di mata publik domestik dan internasional.
“Baca Juga : Manfaat Memberi bagi Kesehatan Mental Menurut Pakar: Mengurangi Stres”
Oposisi Absen dan Demokrasi yang Tersingkir
Salah satu ciri paling mencolok dari pemilu ini adalah absennya oposisi utama. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi tidak ikut serta, setelah dibubarkan karena menolak aturan baru junta. Suu Kyi sendiri kini menjalani hukuman penjara 27 tahun, yang oleh banyak pihak dianggap bermotif politik. Partai-partai yang meraih 90 persen kursi pada pemilu 2020 praktis menghilang dari panggung politik. Banyak partai memilih memboikot, sementara kelompok oposisi menyerukan warga untuk tidak memilih. Dalam kondisi ini, pemilu sulit disebut kompetitif. Demokrasi multipartai yang dijanjikan terasa hampa, karena pilihan politik rakyat telah dipersempit sebelum surat suara dicetak.
Upaya Legitimasi Kekuasaan Militer
Militer Myanmar membingkai pemilu ini sebagai langkah kembali ke demokrasi, namun banyak pengamat melihatnya sebagai upaya legitimasi kekuasaan. Analis International Crisis Group, Richard Horsey, menyebut pemilu ini tidak kredibel karena diselenggarakan oleh aktor yang sama dengan pelaku kudeta 2021. Strategi junta dinilai jelas: memastikan kemenangan Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang didukung militer. Dengan begitu, Myanmar dapat beralih dari pemerintahan militer langsung ke pemerintahan sipil semu, sementara kendali tetap di tangan tentara. Model ini memberi ilusi transisi politik, tanpa benar-benar mengembalikan kedaulatan rakyat. Lapisan sipil menjadi tameng bagi kekuasaan bersenjata yang tetap dominan.
“Simak Juga : Turkiye Gagalkan Teror Natal, 115 Anggota ISIS Ditangkap di Istanbul”
Dimensi Regional dan Sikap Internasional
Pemilu Myanmar juga memiliki implikasi regional. Negara-negara tetangga seperti China, India, dan Thailand cenderung mempertahankan hubungan dengan junta atas nama stabilitas kawasan. Pemilu ini memberi mereka alasan diplomatik untuk terus berinteraksi, sejalan dengan proposal perdamaian ASEAN yang mendorong dialog. Di sisi lain, negara-negara Barat tetap menjatuhkan sanksi terhadap para jenderal Myanmar. Perbedaan sikap ini menciptakan tekanan geopolitik yang kompleks. Junta memanfaatkan celah tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki dukungan eksternal, meski legitimasi internal dipertanyakan. Dalam lanskap internasional yang terpecah, nasib demokrasi Myanmar kerap terpinggirkan oleh kepentingan stabilitas dan keamanan regional.
Represi Politik dan Krisis Kemanusiaan yang Memburuk
Di balik proses pemilu, krisis kemanusiaan Myanmar terus memburuk. Lebih dari 22.000 orang ditahan atas pelanggaran politik, dan ribuan warga sipil tewas sejak kudeta. Sekitar 3,6 juta orang terpaksa mengungsi, menciptakan beban kemanusiaan besar. Undang-undang perlindungan pemilu yang baru justru memperketat represi, dengan sanksi berat bagi kritik dan aktivitas politik. Lebih dari 200 orang didakwa hanya karena selebaran atau unggahan daring. Kantor HAM PBB memperingatkan meningkatnya kekerasan dan intimidasi menjelang pemilu. Bagi banyak warga, pemilu bukan simbol harapan, melainkan pengingat pahit bahwa suara rakyat masih tercekik di bawah bayang-bayang senjata.