iNews Complex – Skema sewa beli atau rent-to-own (RTO) belakangan ini mulai dibahas sebagai solusi kepemilikan rumah. Pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto rencananya akan mengadopsi model ini. Tujuannya untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah layak bagi masyarakat Indonesia. Model RTO dianggap relevan bagi generasi muda dan keluarga baru. Banyak dari mereka belum mampu membayar uang muka besar. Sementara itu, kebutuhan akan hunian yang layak terus meningkat. Dengan skema ini, masyarakat bisa langsung menempati rumah. Mereka membayar sewa bulanan yang sebagian dialokasikan sebagai cicilan. Setelah jangka waktu tertentu, rumah dapat dimiliki sepenuhnya.
Dalam skema RTO, penyewa menandatangani kontrak jangka panjang. Mereka membayar biaya sewa bulanan yang telah ditetapkan. Sebagian dari biaya ini akan dikreditkan sebagai pembayaran rumah. Di akhir masa kontrak, penyewa mendapat opsi untuk membeli properti tersebut. Harga rumah biasanya sudah ditentukan sejak awal. Hal ini memberi kepastian kepada penyewa tentang nilai rumahnya nanti. Jika penyewa memutuskan untuk tidak membeli, kontrak bisa dihentikan. Model ini menawarkan fleksibilitas dan kejelasan kepemilikan. Skema ini juga membuka jalan kepemilikan rumah bagi yang sulit mengakses kredit KPR. Khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
“Baca Juga : Pakar Harvard: Langkah Kecil Ini Bisa Lindungi Kesehatan Jantung Anda”
Salah satu keunggulan utama dari RTO adalah aksesibilitas. Banyak masyarakat yang tidak lolos syarat KPR kini punya alternatif. Dengan uang muka kecil atau bahkan nol rupiah, hunian dapat segera ditempati. Ini sangat membantu keluarga muda yang baru memulai hidup mandiri. Selain itu, skema ini juga memberi kesempatan untuk “mencoba” rumah. Penyewa bisa menilai lingkungan sekitar sebelum memutuskan membeli. Bagi pengembang, RTO memberi jaminan keterhunian dalam jangka menengah. Rumah tidak dibiarkan kosong terlalu lama. Aliran kas dari sewa juga tetap berjalan sembari menunggu pembelian final.
Meski menjanjikan, skema RTO tetap memiliki tantangan. Salah satunya adalah kejelasan hukum dan regulasi. Tanpa payung hukum yang kuat, potensi konflik antara penyewa dan pengembang bisa muncul. Misalnya saat penyewa gagal bayar, atau saat harga rumah melonjak. Risiko lainnya adalah beban ganda bagi penyewa. Mereka tetap membayar sewa sambil mencicil. Jika penghasilan tidak stabil, skema ini bisa menjadi tekanan finansial. Oleh karena itu, edukasi keuangan sangat diperlukan sebelum masuk dalam kontrak. Pemerintah perlu mengatur standar kontrak agar adil bagi semua pihak. Transparansi dalam penetapan harga rumah juga sangat penting.
“Simak juga: Fahri Ungkap Fokus Rumah Prabowo: Lebih ke Hunian Vertikal”
Untuk memastikan skema RTO berjalan lancar, pemerintah perlu turun tangan. Badan Pertanahan Nasional harus menjamin kejelasan hak milik di akhir kontrak. Selain itu, pengawasan terhadap pengembang perlu diperketat. Hanya pengembang terpercaya yang boleh menjalankan program ini. Pemerintah juga bisa memberi insentif bagi pengembang yang menerapkan RTO. Misalnya potongan pajak atau subsidi pembiayaan awal. Di sisi penyewa, pemerintah dapat memberi pelatihan literasi keuangan. Termasuk membantu proses verifikasi kemampuan bayar penyewa. Dengan dukungan penuh dari pemerintah, RTO bisa menjadi salah satu solusi besar backlog perumahan.
Selama masa kampanye, Prabowo menekankan pentingnya hunian layak. Ia berjanji akan mengurangi backlog perumahan secara drastis. Salah satu langkah strategisnya adalah mendorong inovasi pembiayaan. RTO termasuk dalam model yang dianggap cocok dengan visi tersebut. Dalam dokumen visi-misinya, Prabowo menyebut pendekatan “terjangkau dan adil”. Ia ingin rumah bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa diskriminasi ekonomi. Oleh karena itu, skema RTO sangat pas dijadikan andalan. Terlebih saat harga tanah terus naik dan daya beli stagnan. RTO bisa menjadi jembatan antara kebutuhan dan kenyataan.