iNews Complex – Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Ia menyampaikan hal tersebut dalam sebuah diskusi energi yang digelar di Jakarta. Menurutnya, meskipun potensi panas bumi sangat besar, realisasi proyeknya masih terkendala sejumlah persoalan teknis, regulasi, dan sosial. Proyek-proyek panas bumi membutuhkan waktu eksplorasi yang panjang dan biaya investasi yang tinggi. Hal ini sering membuat investor ragu untuk berkomitmen dalam jangka panjang.
Indonesia disebut memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia. Total potensinya mencapai lebih dari 29 gigawatt. Namun, kapasitas terpasang saat ini baru menyentuh kisaran 2.300 megawatt. Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara potensi dan pemanfaatan. Darmawan menyatakan bahwa pengembangan panas bumi tidak sesederhana membangun pembangkit listrik konvensional. Eksplorasi membutuhkan data geologi yang presisi serta proses pengeboran yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Baca Juga : Program MBG, Badan Gizi Siap Borong Puluhan Juta Telur Sehari”
Salah satu tantangan terbesar menurut PLN adalah risiko eksplorasi yang tinggi. Dalam proyek panas bumi, pengeboran bisa gagal menemukan sumber panas yang layak. Jika hasil eksplorasi negatif, dana miliaran rupiah bisa terbuang sia-sia. Tak heran jika banyak investor swasta yang enggan masuk ke sektor ini tanpa jaminan. PLN mendorong adanya skema mitigasi risiko melalui insentif dan dukungan dari pemerintah. Hal ini penting agar minat pelaku usaha tidak surut saat menghadapi ketidakpastian hasil eksplorasi.
“Simak juga: BRI Beberkan Langkah Amankan Aset di Tengah Krisis Dunia”
Di luar persoalan teknis, perizinan menjadi masalah klasik yang belum kunjung tuntas. Untuk satu proyek panas bumi, pelaku usaha harus mengurus belasan izin dari berbagai instansi. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun sebelum bisa memulai konstruksi. PLN berharap ada reformasi birokrasi yang konkret agar investasi energi terbarukan tidak tersendat. Darmawan menyebutkan bahwa kejelasan dan kepastian hukum merupakan faktor penting bagi investor. Tanpa itu, proyek-proyek hijau akan sulit berkembang.
PLN juga mencatat adanya tantangan sosial yang tidak bisa diabaikan. Di sejumlah daerah, proyek panas bumi menghadapi penolakan dari masyarakat lokal. Isu lingkungan dan ketakutan terhadap dampak pengeboran seringkali memicu konflik. Padahal, teknologi panas bumi yang digunakan saat ini jauh lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan masa lalu. Untuk itu, edukasi dan komunikasi dengan masyarakat menjadi kunci. Tanpa dukungan warga, pembangunan infrastruktur akan selalu menghadapi hambatan.
Darmawan menegaskan bahwa PLN tidak bisa bekerja sendiri dalam mengembangkan sektor panas bumi. Kolaborasi dengan pemerintah daerah, Kementerian ESDM, hingga lembaga internasional menjadi sangat penting. Ia juga menyebut perlunya pendekatan multi-sektor yang melibatkan lembaga pembiayaan. Dengan skema pembagian risiko dan insentif fiskal, minat investor bisa ditingkatkan. PLN juga membuka peluang kerja sama dengan perusahaan teknologi untuk mempercepat inovasi di sektor ini.
Meski banyak tantangan, PLN tetap menargetkan pengembangan panas bumi secara signifikan dalam RUPTL 2021–2030. Perusahaan menyiapkan sejumlah proyek baru yang tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Targetnya adalah menambah kapasitas panas bumi hingga 3.000 megawatt dalam satu dekade. PLN juga akan mengoptimalkan aset panas bumi yang sudah ada. Efisiensi operasi dan pemeliharaan dilakukan agar pembangkit berjalan dengan maksimal.
Pengembangan panas bumi merupakan bagian penting dari strategi transisi energi nasional. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon secara bertahap. Dalam hal ini, PLN mengambil peran sebagai motor utama transisi energi. Darmawan menegaskan bahwa energi terbarukan, termasuk panas bumi, harus menjadi fondasi ketahanan energi masa depan. Dengan dukungan kebijakan yang berpihak, Indonesia bisa menjadi pemimpin energi bersih di kawasan.