iNews Complex – Gelar habib seringkali dikaitkan dengan keturunan Nabi Muhammad, dan dianggap sebagai tanda kehormatan yang melekat pada mereka yang berasal dari garis keturunan Nabi. Di Indonesia, gelar ini sangat dihormati, bahkan dianggap sebagai simbol kedekatan dengan Rasulullah. Namun, belakangan muncul fenomena obral gelar habib, di mana gelar ini diperdagangkan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Fenomena ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan umat Islam mengenai keabsahan penggunaan gelar tersebut.
“Baca juga: Mengungkap Sisi Kelam Agama: Apa yang Tidak Pernah Diberitahukan kepada Anda!”
Setelah tragedi Karbala pada 680 M, keturunan Nabi Muhammad menyebar ke Madinah dan kemudian menetap di Yaman pada 929 M. Keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Hadramaut, Yaman, menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia, pada abad ke-12. Kedatangan para pedagang Hadrami di Indonesia semakin meluas pada abad ke-19, dan pada 1928, didirikanlah organisasi Rabithah Alawiyah di Indonesia untuk menjaga dan mencatat garis keturunan Nabi Muhammad.
Seiring dengan meningkatnya popularitas gelar habib, muncul oknum-oknum yang memanfaatkan ketenaran gelar tersebut untuk keuntungan pribadi. Beberapa pihak mulai menjual gelar habib kepada orang-orang yang ingin menggunakannya, dengan biaya tertentu. Penjualan gelar ini akhirnya diketahui oleh pengurus Rabithah Alawiyah yang kemudian melaporkan penjual gelar palsu tersebut kepada pihak berwajib.
Rabithah Alawiyah merupakan organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mencatatkan nasab keturunan Nabi Muhammad. Setiap tahun, ribuan orang mendaftar untuk mencatatkan silsilah keluarganya, dengan tujuan untuk memastikan keaslian garis keturunan mereka. Sampai tahun 2024, lebih dari 100.000 orang tercatat sebagai ahlul bait di Rabithah Alawiyah. Tapi banyak orang yang berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad memilih untuk tidak mengidentifikasi diri mereka dengan gelar habib, karena merasa bahwa identitas tersebut tidak penting atau malah menyulitkan.
Pada tahun-tahun terakhir, kontroversi mengenai keabsahan nasab keturunan Nabi Muhammad semakin mencuat. Dalam penelitiannya, Imaduddin menyimpulkan bahwa nasab keturunan Nabi Muhammad terputus pada keturunan ke-10, yang berarti gelar habib pada keturunan berikutnya tidak sah. Penelitian ini langsung menimbulkan perdebatan sengit di kalangan para ahli dan pihak-pihak yang mengurus nasab keturunan Nabi.
“Simak juga: Apakah Benar Tuhan Merupakan Ciptaan Manusia?”
Perdebatan tentang keabsahan nasab Nabi Muhammad ini menciptakan kerisauan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang percaya pada pentingnya garis keturunan Nabi. Rabithah Alawiyah menanggapi hasil penelitian tersebut dengan menolak teori yang disampaikan oleh Imaduddin, dengan alasan bahwa kesimpulannya hanya didasarkan pada kitab-kitab modern. Sebaliknya, pihak yang mendukung hasil penelitian tersebut menganggap bahwa pencatatan nasab harus lebih mengikuti perkembangan pengetahuan sejarah dan kitab-kitab rujukan yang lebih baru.