iNews Complex – Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi PT Timah yang digelar pada Jumat (6/12/2024), Prof. Dr. Romli Atmasasmita, pakar hukum pidana terkemuka, menyoroti implementasi Pasal 32 UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini menyediakan mekanisme alternatif berupa gugatan perdata untuk memulihkan kerugian negara ketika penyidik gagal menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menjerat pelaku melalui jalur pidana.
Prof. Romli menjelaskan bahwa penyusun UU Tipikor telah mempertimbangkan kompleksitas pembuktian dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam banyak kasus, membuktikan perbuatan melawan hukum (PMH) atau penyalahgunaan wewenang bukanlah hal mudah, terutama jika bukti permulaan tidak mencukupi.
Pasal 32 ayat 1 UU Tipikor hadir sebagai solusi berupa “escape clause”. Ketika penyidik tidak mampu menemukan bukti awal yang kuat, namun terdapat indikasi kerugian keuangan negara yang signifikan, kasus tersebut harus dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Selanjutnya, gugatan perdata diajukan untuk memulihkan kerugian negara.
“Kerugian keuangan negara dalam hal ini bukanlah norma pidana, melainkan norma perdata, seperti ganti rugi yang diatur dalam perbuatan melawan hukum,” ungkap Prof. Romli.
Dalam sidang, Prof. Romli juga memberikan penjelasan rinci mengenai perbedaan mendasar antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara.
Prof. Romli juga menyoroti aspek teknis dalam penyusunan dakwaan. Sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, dakwaan harus memenuhi syarat formil dan materiel. Dakwaan yang tidak menjelaskan peran terdakwa dengan jelas dapat dianggap kabur (obscure) dan berpotensi batal demi hukum.
“Jika dakwaan tidak merinci siapa yang melakukan, menyuruh, atau turut serta dalam tindak pidana, maka dakwaan tersebut dianggap tidak sah,” tegasnya.
Isu ini muncul dalam sidang kasus PT Timah, di mana penasihat hukum terdakwa, Marcella Santoso, mempersoalkan tidak adanya penjelasan konkret terkait peran dari 20 terdakwa. Ia mengingatkan bahwa asas legalitas dalam hukum pidana menuntut kejelasan peran masing-masing pihak.
Prof. Romli kembali menegaskan doktrin hukum pidana Indonesia yang berpegang pada asas legalitas (nullum crimen sine lege). Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali telah diatur secara eksplisit dalam undang-undang.
“Penegakan hukum harus berjalan sesuai aturan tertulis. Tanpa kepastian hukum, proses hukum rentan terhadap penyalahgunaan wewenang,” kata Prof. Romli.
Sidang kasus dugaan korupsi PT Timah menjadi contoh bagaimana Pasal 32 UU Tipikor dapat diterapkan sebagai solusi untuk kasus yang minim bukti pidana. Gugatan perdata menjadi jalan keluar yang sah untuk memulihkan kerugian keuangan negara tanpa harus melalui jalur pidana.
Dengan memahami perbedaan antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara, serta pentingnya kejelasan dakwaan, diharapkan penegakan hukum dapat lebih efektif dan berkeadilan.