
iNews Complex – Sepanjang 2025, Selandia Baru menghadapi gelombang kepergian warga yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ekonomi yang stagnan membuat banyak keluarga merasa masa depan mereka tidak lagi terjamin. Peluang kerja menurun, sementara biaya hidup terus naik. Situasi ini mendorong warga mencari harapan baru di negara lain. Australia menjadi tujuan favorit karena menawarkan kestabilan dan kesempatan kerja yang lebih jelas. Fenomena ini pun menekan pemerintah, terutama Perdana Menteri Christopher Luxon, yang berusaha meyakinkan publik bahwa kebijakannya mampu memperbaiki keadaan. Namun, kepergian warga dalam jumlah besar menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat sedang berada di titik kritis.
Data resmi menunjukkan lonjakan besar dalam jumlah warga yang meninggalkan negara itu. Dalam 12 bulan hingga September 2025, sebanyak 72.684 warga memilih pergi ke luar negeri. Pada saat yang sama, hanya 26.318 yang kembali. Alhasil, Selandia Baru mengalami eksodus bersih mencapai 46.366 orang. Kedatangan pekerja asing pun turun drastis, hanya menghasilkan imigrasi bersih 12.434. Padahal pada 2023, angka tersebut pernah mencapai 135.529. Data ini menggambarkan betapa besarnya tekanan ekonomi yang dirasakan warga. Banyak dari mereka akhirnya mengambil keputusan berat: meninggalkan kampung halaman demi hidup yang lebih pasti.
“Baca Juga : Donald Trump Akhiri Shutdown Terlama AS, Negara Bangkit dari Mati Suri”
Penyebab utama eksodus ini adalah kelesuan ekonomi. Pada paruh pertama 2025, pertumbuhan ekonomi hampir tidak bergerak. Ketika memasuki paruh kedua, perbaikan yang diharapkan berjalan sangat lambat. Perusahaan enggan merekrut karyawan baru karena kondisi pasar belum stabil. Pengangguran meningkat, sementara biaya kebutuhan pokok tetap tinggi. Kondisi ini membuat banyak warga menunda rencana besar, seperti membeli rumah atau memulai usaha kecil. Di tengah ketidakpastian itu, mencari peluang di negara lain terasa lebih menjanjikan. Situasi ini menciptakan kekhawatiran baru bagi pemerintah karena tenaga kerja muda yang produktif justru memilih keluar.
Fenomena eksodus ini menambah tekanan besar pada PM Christopher Luxon. Sejak awal masa jabatannya, ia berjanji membawa perubahan ekonomi. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan tantangan yang lebih berat. Banyak warga mulai meragukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi. Kritik bermunculan dari berbagai pihak, terutama terkait lambatnya pemulihan ekonomi. Luxon kini menghadapi situasi sulit karena harus mengembalikan kepercayaan publik sekaligus memastikan perbaikan nyata. Tanpa langkah cepat, eksodus warga berpotensi menjadi isu politik yang membayangi masa pemerintahannya.
“Simak Juga : Persahabatan Prabowo dan Raja Abdullah II yang Terjalin Sejak Usia Muda”
Pemerintah menyadari bahwa eksodus warga ini bukan hal biasa. Menteri Imigrasi Erica Stanford menyebut tren kepergian sebenarnya mulai terlihat sejak 2023, ketika ekonomi mulai melemah. Ia optimistis warga akan kembali ketika kondisi membaik, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Namun, banyak pihak menilai perbaikan ekonomi perlu langkah lebih cepat dan konkret. Di sisi lain, Menteri Keuangan Nicola Willis menekankan pentingnya meningkatkan kualitas lapangan kerja. Menurutnya, Selandia Baru harus mampu bersaing dengan Australia yang sudah lama dianggap lebih makmur. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah memahami betapa seriusnya tantangan yang mereka hadapi.
Bagi banyak keluarga, keputusan pergi ke luar negeri bukan hal mudah. Ada harapan besar yang mereka bawa, namun juga rasa kehilangan terhadap tanah kelahiran. Meski demikian, mereka tetap berharap suatu hari Selandia Baru akan kembali stabil. Negara ini berada di persimpangan penting: memperbaiki ekonomi atau menerima kenyataan bahwa banyak warganya mencari rumah baru di luar. Pemerintah kini memiliki tugas besar untuk memastikan perbaikan ekonomi terjadi secepat mungkin. Jika tidak, eksodus warga bisa berlanjut dan meninggalkan dampak berkepanjangan pada masa depan negara.