
iNews Complex – Sebuah kebijakan unik dari pemerintah Slovakia menjadi bahan perbincangan global. Parlemen negara itu baru saja mengesahkan undang-undang yang membatasi kecepatan maksimum pejalan kaki hingga 6 kilometer per jam. Peraturan ini berlaku tidak hanya untuk pejalan kaki, tetapi juga bagi pengguna trotoar lainnya seperti pesepeda, pengguna sepatu roda, dan skuter listrik. Pemerintah beralasan, langkah ini diambil untuk meningkatkan keselamatan di trotoar yang kini semakin padat. Namun, banyak warga menilai aturan tersebut terlalu ekstrem dan tidak realistis. Media sosial langsung dipenuhi meme dan komentar lucu, menggambarkan “pejalan kaki ngebut” atau bercanda bahwa mungkin ke depan, warga harus memiliki SIM untuk berjalan kaki. Bagi sebagian orang, kebijakan ini terasa seperti lelucon di tengah keseriusan pemerintah menegakkan peraturan lalu lintas.
Meski diselimuti kritik dan humor, pemerintah Slovakia bersikeras bahwa tujuan kebijakan ini murni untuk mengurangi risiko kecelakaan di trotoar. Dalam beberapa tahun terakhir, trotoar di kota-kota besar memang semakin padat, digunakan bersamaan oleh berbagai moda transportasi kecil. Pemerintah berharap batas kecepatan ini bisa menciptakan keteraturan dan menghindari benturan antar pengguna. Pelanggar aturan ini bahkan terancam denda hingga 100 euro (sekitar Rp 1,9 juta). Namun, publik masih mempertanyakan bagaimana cara penegakan hukumnya dilakukan. Apakah akan ada polisi lalu lintas khusus pejalan kaki, atau radar di trotoar? Hingga kini, otoritas belum memberikan penjelasan rinci, membuat banyak orang merasa kebijakan tersebut belum matang dan sulit diterapkan di lapangan.
Reaksi keras datang dari berbagai pihak, termasuk kelompok advokasi pejalan kaki dan pesepeda Cyklokoalicia. Presiden organisasi tersebut, Dan Kollar, menilai aturan ini “terlalu lambat untuk ukuran manusia normal.” Menurutnya, kecepatan 6 km/jam justru bisa membuat keseimbangan sulit dijaga, bahkan bagi anak-anak kecil yang belajar bersepeda. “Anak berusia tiga atau empat tahun saja bisa melampaui batas itu,” ujarnya kepada AFP. Ia khawatir, kebijakan ini akan menimbulkan situasi absurd anak-anak bisa menjadi “pelanggar hukum” hanya karena berjalan atau bermain seperti biasa. Kollar menegaskan bahwa fokus keselamatan seharusnya diarahkan pada infrastruktur yang lebih aman dan edukasi pengguna jalan, bukan dengan mengatur hal-hal yang justru tidak praktis seperti kecepatan pejalan kaki.
Gelombang penolakan terhadap kebijakan ini terus meluas. Kelompok Concerned Mothers, misalnya, meminta Presiden Slovakia agar menolak menandatangani undang-undang tersebut. Mereka berpendapat, aturan itu justru menciptakan kebingungan baru tanpa menyentuh akar persoalan keselamatan di jalan. Data kepolisian Slovakia mencatat, tahun lalu terdapat 67 pejalan kaki dan 22 pesepeda meninggal akibat kecelakaan. Namun, tak ada data khusus mengenai insiden yang terjadi di trotoar. Hal ini membuat efektivitas aturan baru tersebut diragukan. Banyak warga menilai, pemerintah seharusnya fokus memperbaiki fasilitas jalan, menambah rambu, atau menertibkan pengguna skuter listrik yang kerap melaju sembarangan alih-alih membatasi langkah kaki manusia yang pada dasarnya berjalan sesuai naluri dan kecepatan alami.
Fenomena trotoar padat di Slovakia menggambarkan masalah perkotaan yang semakin kompleks. Di banyak kota besar seperti Bratislava, batas antara ruang pejalan kaki dan kendaraan kecil mulai kabur. Skuter listrik, sepeda, hingga sepatu roda berbagi ruang yang sempit, menimbulkan potensi gesekan antar pengguna. Pemerintah tampaknya ingin mencari solusi cepat, namun pendekatan yang diambil dianggap keliru. Alih-alih memperluas jalur pejalan kaki atau menambah zona khusus kendaraan ringan, mereka memilih untuk membatasi kecepatan semua pengguna. Bagi banyak warga, trotoar seharusnya menjadi tempat yang aman dan bebas stres, bukan lokasi baru untuk takut melanggar hukum. Kebijakan ini pun memunculkan kekhawatiran akan hilangnya kenyamanan dan spontanitas dalam aktivitas berjalan kaki sehari-hari.
“Simak Juga : Program “MBG” Sekolah di Swedia, Murid Nikmati Makanan Lezat dan Berkelanjutan”
Langkah kontroversial ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Slovakia. Sejak Perdana Menteri Robert Fico kembali berkuasa pada 2023, pemerintahnya dikenal dengan kebijakan-kebijakan keras dan serangkaian revisi undang-undang besar. Mulai dari perubahan konstitusi hingga reformasi hukum pidana, banyak yang menilai arah kebijakan Fico cenderung membatasi kebebasan sipil. Batas kecepatan pejalan kaki mungkin tampak sepele, tetapi bagi sebagian warga, ini simbol dari pemerintahan yang semakin mengontrol aspek kehidupan pribadi. Demonstrasi kecil bahkan muncul di Bratislava, di mana para pejalan kaki berjalan pelan-pelan sambil membawa papan bertuliskan “Kami Bukan Mobil.” Dalam suasana yang serba tegang, aturan baru ini mencerminkan dilema modern: antara menjaga keselamatan publik dan menjaga kebebasan individu.
Reaksi terhadap kebijakan Slovakia menggambarkan keresahan global akan birokrasi yang berlebihan dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Bagi banyak orang, berjalan kaki adalah simbol kebebasan paling mendasar gerak tubuh yang tak memerlukan izin atau aturan rumit. Namun, di tengah ambisi pemerintah untuk meningkatkan keselamatan, muncul paradoks baru: ketika upaya melindungi justru terasa mengekang. Media internasional menyoroti kebijakan ini sebagai contoh bagaimana niat baik bisa berubah menjadi bahan tertawaan jika kehilangan sentuhan realitas. Di media sosial, tagar #SlowWalkers viral, memicu diskusi serius tentang bagaimana teknologi dan regulasi mulai menyentuh sisi paling sederhana dari kehidupan manusia: langkah kaki. Slovakia kini menjadi pengingat bahwa aturan tanpa empati sering berakhir menjadi satire yang memancing tawa sekaligus keprihatinan.