iNews Complex – Banjir Meksiko, Meksiko diterjang hujan deras yang memicu banjir bandang serta tanah longsor. Sedikitnya 47 orang dilaporkan meninggal dunia, dan puluhan desa masih terisolasi akibat jalan terputus serta listrik padam. Wilayah terparah meliputi Hidalgo, Puebla, Queretaro, dan Veracruz semuanya mengalami kerusakan infrastruktur yang parah. Sebagai pengamat kebencanaan, saya melihat bencana ini bukan hanya sebagai fenomena alam, tapi juga ujian besar terhadap sistem penanggulangan darurat Meksiko yang masih banyak kelemahan strukturalnya.
Di kota Huauchinango, Puebla, sembilan korban tewas berasal dari satu keluarga keluarga Ortega. Rosalia Ortega (76) mengatakan bahwa meski kehilangan orang-orang tercinta, ia tetap bersyukur dapat memberikan mereka pemakaman layak secara Kristen. Ungkapan sederhana itu mencerminkan ketabahan luar biasa di tengah duka. Saya pribadi sangat tersentuh membaca kisah ini. Dalam kehancuran total, ada kekuatan spiritual dan ikatan keluarga yang masih menjadi pegangan utama. Itulah sisi kemanusiaan yang sering luput dalam laporan bencana.
“Baca Juga : Zelensky Minta Momentum Gencatan Senjata Gaza Jadi Titik Awal Perdamaian di Ukraina”
Banjir bandang ini berasal dari meluapnya sungai di pegunungan Sierra Madre Oriental. Dalam hitungan menit, air deras membawa lumpur, batu, dan puing-puing, menyapu rumah-rumah warga saat mereka sedang tertidur. Banyak keluarga tak sempat menyelamatkan barang bahkan nyawa. Saya membayangkan betapa mengerikannya suara air dan retakan tanah di malam hari, tanpa peringatan dini. Sayangnya, di banyak wilayah pegunungan Meksiko, sistem deteksi banjir masih belum memadai. Ini memperparah risiko, terutama bagi komunitas kecil yang jauh dari pusat informasi.
Salah satu kisah paling memilukan datang dari Maria Salas (49), seorang juru masak yang kehilangan lima anggota keluarganya sekaligus. Rumahnya hancur total tertimbun longsor. “Saya tidak punya apa-apa,” katanya dengan suara bergetar, berteduh di bawah payung di dekat lokasi bencana yang dijaga tentara. Saat membaca kisah Maria, saya merasa kata “kehilangan” terlalu kecil untuk menggambarkan apa yang ia alami. Ini bukan hanya soal rumah atau harta, tapi juga kenangan, keamanan, dan masa depan. Ia kini berdiri di titik nol, memulai segalanya dari awal, sendirian.
“Simak Juga : Ambisi Besar dan Harapan Menuju Piala Dunia 2026”
Huauchinango, kota berpenduduk 100.000 jiwa, menjadi salah satu pusat kehancuran. Lumpur setinggi lutut merendam rumah-rumah, membuat ribuan warga terjebak dan harus berpegangan tangan agar tidak hanyut. Petra Rodriguez, warga setempat, mengatakan bahwa ia dan keluarganya hanya bisa bertahan dengan saling menggenggam satu sama lain. “Kalau satu hanyut, kami semua ikut,” katanya. Saya terenyuh dengan cerita ini. Di tengah bencana, kebersamaan dan refleks alami untuk melindungi orang terdekat menjadi satu-satunya harapan bertahan hidup.
Karina Galicia berhasil selamat, tapi rumahnya dipenuhi lumpur. Di sisi lain kota, Adriana Vazquez naik jalan setapak yang licin demi mencari sisa rumah kerabatnya. Yang ia temukan hanya tumpukan kayu dan seng. “Semuanya rata dengan tanah,” ujarnya. Tentara membantu dengan ekskavator, tapi kecepatan evakuasi dibatasi oleh medan berat dan cuaca yang tak kunjung membaik. Saya membayangkan betapa beratnya mental survivor yang harus berdiri di atas puing rumah sendiri. Tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tapi juga jejak kehidupan yang selama ini mereka bangun sedikit demi sedikit.