
iNews Complex – Ketegangan China dan Jepang kembali memuncak setelah Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi menyatakan bahwa Tokyo dapat terlibat secara militer jika Taiwan diserang. Ucapan ini memicu respons keras dari Beijing yang menganggap Taiwan sebagai wilayahnya. Sejak itu, hubungan kedua negara kian memburuk, dan dinamika politik berubah dalam waktu sangat cepat. Kini, dampaknya meluas ke sektor perdagangan, terutama pada produk laut Jepang yang menjadi salah satu komoditas ekspor penting. Larangan Impor seafood tersebut mencerminkan bagaimana isu geopolitik dapat segera menggeser kebijakan ekonomi antarnegara.
Dalam sepekan setelah pernyataan Takaichi, China menempuh langkah diplomatik yang tegas. Beijing memanggil duta besar Jepang, memberi imbauan perjalanan kepada warganya, dan memperingatkan mahasiswa China di Jepang agar lebih waspada. Media pemerintah juga memberitakan penundaan tayang beberapa film Jepang di China, sehingga tekanan semakin terasa. Langkah-langkah cepat ini menunjukkan bahwa Beijing ingin menegaskan ketidaksetujuannya sekaligus mengirim pesan politik yang keras kepada Tokyo. Dampaknya pun meluas ke sektor budaya hingga pariwisata.
“Baca Juga : KPK Ungkap Modus Korupsi Whoosh: Tanah Negara Dibeli Lagi oleh Negara”
Media Jepang, termasuk NHK, melaporkan bahwa penghentian impor seafood dilakukan untuk “memantau” pembuangan air limbah terolah dari PLTN Fukushima. Meski pelepasan air telah disetujui IAEA dan dinilai berada dalam batas aman, China tetap menunjukkan kekhawatiran. Beijing menyebut keputusan itu sebagai langkah perlindungan. Penjelasan tersebut mengulang ketegangan serupa pada 2023, ketika China juga melarang produk laut Jepang akibat isu pembuangan air. Meski alasan resminya soal keamanan radiasi, pengamat menilai langkah ini berkaitan erat dengan kondisi politik.
Larangan impor ini bukan hal baru. Pada 2023, China dan kemudian Rusia menghentikan pembelian seafood Jepang setelah pelepasan air limbah Fukushima dimulai. TEPCO menyatakan air tersebut sudah disaring dari seluruh unsur radioaktif kecuali tritium dalam batas aman. Namun Beijing tetap mengkritik keras Jepang dan menuduhnya memperlakukan Samudra Pasifik seperti selokan. Dampaknya signifikan. Ekspor seafood Jepang ke China yang sebelumnya menyumbang lebih dari 22 persen dari total nilai ekspor turun menjadi hanya 15,6 persen pada tahun berikutnya.
“Simak Juga : Menko Zulhas: Durian Jelas Buah Nasional Indonesia”
China dan Jepang merupakan mitra dagang besar, namun hubungan kedua negara terus diwarnai rivalitas. Perselisihan teritorial, sikap politik yang berbeda, serta meningkatnya anggaran militer masing-masing membuat ketegangan mudah membesar. Pada Senin lalu, Jepang mengimbau warganya di China agar menghindari kerumunan. Beijing kemudian mengatakan akan melindungi warga asing, tetapi tetap menegaskan protesnya terhadap pernyataan Takaichi. Situasi ini menunjukkan betapa mudahnya isu politik berubah menjadi konflik ekonomi yang berdampak luas.
Di tengah kondisi yang memanas, Jepang mencoba membangun komunikasi kembali. Utusan tinggi Kementerian Luar Negeri Jepang, Masaaki Kanai, bertemu dengan pejabat China Liu Jinsong di Beijing. Namun, dalam pertemuan tersebut, China kembali menyampaikan protes keras atas ucapan Takaichi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menilai pernyataan itu melanggar norma hubungan internasional dan merusak dasar politik yang selama ini menopang relasi kedua negara. Meski pertemuan dilakukan untuk meredakan situasi, perbedaan posisi kedua pihak masih terlihat sangat tajam.