iNews Complex – Ketegangan memuncak di ibu kota Nepal, Kathmandu, ketika tentara dikerahkan untuk mengamankan kota setelah demonstrasi besar-besaran berubah menjadi kerusuhan berdarah yang mengguncang negeri Himalaya tersebut. Peristiwa ini menjadi krisis politik dan sosial paling brutal dalam dua dekade terakhir, meninggalkan jejak kehancuran, kemarahan, dan ketidakpastian masa depan negara.
Akar dari krisis ini bermula dari kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan media sosial, sebuah langkah yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi. Aksi protes yang awalnya digelar damai pada Senin (8/9/2025) seketika berubah menjadi amarah nasional saat aparat keamanan menanggapi dengan kekerasan.
Sedikitnya 19 orang dilaporkan tewas, ribuan lainnya luka-luka. Gedung parlemen Nepal dibakar, kantor-kantor pemerintah dijarah, dan rumah pribadi Perdana Menteri KP Sharma Oli menjadi sasaran kemarahan massa.
“Baca Juga : Demokrasi Indonesia dan Krisis Fiskal yang Kian Terbuka”
KP Sharma Oli, tokoh berpengaruh dan pemimpin Partai Komunis Nepal, akhirnya mengundurkan diri pada Selasa (9/9/2025) setelah desakan massa tak terbendung. “Untuk membuka langkah menuju solusi politik,” ujarnya dalam pernyataan singkat sebelum menghilang tanpa jejak. Keberadaannya saat ini masih belum diketahui publik.
Jalanan Kathmandu kini berubah menjadi kota mati. Tentara dengan senjata lengkap berpatroli di titik-titik strategis. “Hari ini sepi, tentara ada di mana-mana,” ujar seorang tentara saat berjaga di pos pemeriksaan darurat. Aroma asap dan bara masih menyelimuti udara kota yang baru saja luluh lantak akibat kemarahan rakyat.
Panglima Militer Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, dalam pernyataan video mengajak semua pihak menahan diri dan membuka ruang dialog. “Kami meminta semua kelompok yang terlibat untuk membatalkan aksi kekerasan dan duduk bersama mencari solusi damai,” ungkapnya.
Sekjen PBB Antonio Guterres pun menyuarakan kekhawatiran yang sama. Lewat juru bicaranya, ia meminta semua pihak untuk menunjukkan pengendalian diri dan mencegah kekerasan lebih lanjut agar situasi tidak semakin memburuk.
“Simak Juga : Gejolak Politik dan Utang: Prancis di Ambang Krisis Ekonomi Nasional”
Kini, masa depan Nepal bergantung pada seberapa cepat pemimpin, tentara, dan rakyat bisa mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan transisi yang mampu mengembalikan stabilitas dan menyalakan kembali harapan rakyat.
Pengamat hukum tata negara, Dipendra Jha, menyebut, “Para pengunjuk rasa, para pemimpin yang mereka percayai, dan tentara harus bersatu untuk membuka jalan bagi pemerintahan sementara.”
Namun, di tengah kehancuran dan trauma yang ditinggalkan oleh tragedi ini, jalan menuju rekonsiliasi masih panjang dan penuh tantangan. Masyarakat dunia kini menanti, apakah Nepal mampu bangkit dari reruntuhan amarah dan memulai lembaran baru yang lebih damai dan adil.