
iNews Complex – Ketegangan di Semenanjung Korea kembali meningkat setelah Korea Utara meluncurkan satu rudal balistik ke arah Laut Timur (Laut Jepang) pada Jumat (7/11/2025). Informasi ini dikonfirmasi oleh Kepala Staf Gabungan Korea Selatan. Peluncuran terjadi hanya sepekan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyetujui rencana Seoul membangun kapal selam bertenaga nuklir. Rudal tersebut jatuh di luar zona ekonomi eksklusif Jepang, tanpa menimbulkan korban maupun kerusakan. Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi. Meski tidak menimbulkan dampak fisik, peluncuran ini memicu kekhawatiran global. Banyak pihak menilai, langkah ini adalah pesan politik dari Pyongyang terhadap manuver militer Korea Selatan dan sekutunya yang semakin agresif di kawasan Asia Timur.
Insiden tersebut segera direspons oleh Tokyo dan Seoul, dua negara yang menjadi garis depan menghadapi ancaman rudal Korea Utara. Pemerintah Jepang langsung menggelar rapat darurat kabinet dan memperkuat sistem pertahanan di wilayah pesisir timur. Sementara itu, Kementerian Pertahanan Korea Selatan menegaskan akan terus berkoordinasi dengan militer Amerika Serikat untuk mengantisipasi ancaman serupa. Di Washington, Gedung Putih mendesak Pyongyang menghentikan semua bentuk provokasi. Meski peluncuran ini tidak menimbulkan korban jiwa, ketegangan diplomatik meningkat tajam. Hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan memang belum pulih sejak pertemuan Kim Jong Un dan Donald Trump gagal pada 2019. Para analis menilai, uji coba rudal kali ini bukan sekadar percobaan teknologi, melainkan pesan strategis dari Kim Jong Un untuk menunjukkan kekuatan militernya di tengah tekanan global.
Faktor pemicu utama ketegangan baru ini adalah rencana Korea Selatan membangun kapal selam bertenaga nuklir. Proyek tersebut disetujui oleh Presiden AS Donald Trump dan disebut sebagai tonggak baru dalam sejarah militer Seoul. Namun, dari sudut pandang Korea Utara, langkah itu dianggap ancaman langsung. “Kapal selam nuklir Korea Selatan bisa memantau bahkan menyerang Pyongyang dari Laut Timur,” kata Ahn Chan-il, peneliti dan pembelot Korea Utara yang kini memimpin World Institute for North Korea Studies. Menurutnya, hal itu akan memperdalam rasa cemas Kim Jong Un terhadap potensi serangan mendadak. Di sisi lain, bagi Seoul, kapal selam tersebut menjadi bagian dari upaya meningkatkan keamanan maritim dan kekuatan aliansi dengan Washington.
Sejak gagalnya pertemuan puncak dengan Trump pada 2019, Korea Utara semakin menegaskan statusnya sebagai negara nuklir permanen. Kini, posisi Kim Jong Un makin kuat berkat dukungan militer dari Rusia. Pyongyang disebut telah mengirim ribuan pasukan dan amunisi untuk membantu Moskwa dalam perang Ukraina. Baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui juga berkunjung ke Moskwa dan bertemu langsung dengan Presiden Vladimir Putin. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara sepakat memperluas kerja sama strategis, terutama di bidang pertahanan. Selain itu, Kim juga mendapat dukungan politik dari Presiden China Xi Jinping. Ia bahkan tampil bersama Xi dan Putin dalam parade militer megah di Beijing pada September lalu, simbol kedekatan tiga negara tersebut di panggung global.
Bagi Amerika Serikat dan sekutunya, peluncuran rudal kali ini menambah tekanan di kawasan Asia Timur. Washington kini berada di posisi sulit. Di satu sisi, mereka ingin memperketat sanksi terhadap Korea Utara. Namun di sisi lain, mereka harus mencegah eskalasi yang dapat berujung konflik terbuka. Gedung Putih menyatakan, Presiden Trump masih membuka peluang untuk kembali berdialog dengan Kim Jong Un. Menurut anggota parlemen Korea Selatan Lee Seong-kweun, intelijen Seoul mendeteksi tanda-tanda Pyongyang sedang menyiapkan kemungkinan perundingan baru. “Ada komunikasi tidak langsung antara kedua pihak,” ujarnya. Meski demikian, banyak analis ragu diplomasi kali ini bisa berjalan efektif. Alasannya, Korea Utara kini memiliki kekuatan nuklir dan dukungan internasional yang jauh lebih besar dibanding beberapa tahun lalu.
Bagi warga Korea Selatan, setiap uji coba rudal Korea Utara selalu memunculkan rasa cemas dan ketidakpastian. Banyak keluarga di Seoul hidup dalam kekhawatiran, terlebih setelah Pyongyang meningkatkan frekuensi peluncurannya. Namun di tengah ketakutan itu, masih ada harapan akan perdamaian. Generasi muda di kedua Korea kini lebih terbuka dan saling terhubung melalui budaya populer, seperti musik, film, dan media sosial. Mereka tumbuh dengan pandangan baru tentang masa depan tanpa perang. “Dialog tetap menjadi jalan terbaik,” kata seorang warga Seoul dalam wawancara lokal. Meski ancaman nuklir terus membayangi, banyak pihak percaya suara rakyat untuk perdamaian tidak akan padam. Dari balik ketegangan politik, masih ada harapan bahwa Semenanjung Korea suatu hari nanti bisa menemukan kedamaian yang sejati.