iNews Complex – Beberapa jam sebelum kekalahan dalam pemungutan suara kepercayaan di parlemen pada 8 September 2025, Perdana Menteri Prancis, Francois Bayrou, melontarkan peringatan keras. Dalam pidatonya, ia menegaskan bahwa situasi keuangan Prancis bukan hanya genting, tetapi juga mengancam keberlangsungan negara. “Anda bisa menjatuhkan pemerintah, tapi Anda tidak bisa menghapus kenyataan,” ucap Bayrou lantang di hadapan anggota parlemen.
Yang dimaksud Bayrou bukan sekadar retorika politik. Prancis saat ini sedang menghadapi beban utang yang tak tertahankan, dan diprediksi akan terus meningkat. Ia menyebut kondisi ini sebagai ancaman langsung terhadap kestabilan negara dan masa depan ekonomi rakyat Prancis. Sayangnya, pidato tersebut gagal menyelamatkannya dari kekalahan politik yang kian dalam.
Jika mengacu pada data terbaru, utang nasional Perancis telah mencapai angka mengejutkan, yaitu sekitar €3,35 triliun atau sekitar 113% dari PDB. Ini menjadikan Prancis sebagai negara dengan utang nasional terbesar di Uni Eropa secara absolut. Bahkan, jika tren ini berlanjut, rasio utang terhadap PDB diperkirakan naik hingga 125% pada tahun 2030.
Posisi Prancis sebagai ekonomi terbesar kedua di zona euro menjadikan masalah ini jauh lebih berbahaya. Selain hanya kalah dari Yunani dan Italia dalam rasio utang terhadap PDB, defisit anggaran Prancis saat ini mencapai 5,4 hingga 5,8%, tertinggi di antara seluruh anggota Uni Eropa. Untuk menurunkannya ke angka 3% sesuai target UE, penghematan besar-besaran tak terhindarkan. Namun, kondisi politik justru memperumit implementasi kebijakan tersebut.
“Baca Juga : Daftar Beasiswa Kuliah Gratis S1-S2 ke Korea Selatan dengan Tunjangan Melimpah”
Ketika reformasi anggaran sulit dijalankan karena tekanan politik dari sayap kanan dan kiri, pasar keuangan mulai bereaksi negatif. Imbal hasil obligasi Prancis melonjak hingga mendekati 3,5%, jauh lebih tinggi dibanding Jerman yang hanya sekitar 2,7%. Artinya, biaya utang Prancis semakin mahal di mata investor.
Saat ini, Prancis harus mengeluarkan sekitar €67 miliar per tahun hanya untuk membayar bunga utang. Situasi ini membuat para pengamat khawatir, dan semua mata kini tertuju pada Bank Sentral Eropa (ECB). ECB diprediksi mungkin akan turun tangan membeli obligasi Prancis untuk menenangkan pasar, namun ini pun berisiko. Jika terlalu cepat campur tangan, ECB bisa kehilangan kredibilitas dan justru memperburuk krisis.
Gejolak ekonomi Prancis tidak terjadi dalam ruang hampa. Ketidakstabilan politik internal membuat kebijakan ekonomi sulit dijalankan. Serikat pekerja sudah mengancam akan melakukan mogok umum pada 10 September, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan penghematan. Di sisi lain, Presiden Macron belum memastikan apakah akan membentuk pemerintahan minoritas atau menggelar pemilu baru.
Kondisi ini menjadi penghalang besar bagi langkah-langkah penyehatan fiskal. Usulan pemotongan anggaran, reformasi tunjangan sosial, hingga kenaikan pajak selalu ditentang keras oleh oposisi, baik dari kiri maupun kanan. Akibatnya, setiap upaya reformasi selalu mandek di tengah jalan, memperpanjang ketidakpastian yang sudah ada.
“Simak Juga : Toshimitsu Motegi, “Pembisik Trump” yang Maju Jadi Kandidat Perdana Menteri Jepang”
Pertanyaan besar pun muncul: apakah gejolak di Prancis bisa memicu krisis di zona euro? Menurut Friedrich Heinemann dari ZEW Jerman, jawabannya adalah “ya”. Meski ia belum melihat ancaman jangka pendek, tren peningkatan utang disertai ketidakstabilan politik bisa membawa risiko jangka menengah hingga panjang.
Prancis memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan negara-negara tetangganya di UE. Jika krisis ini memburuk, efek domino bisa menjalar ke seluruh kawasan. Bahkan, proyek integrasi Eropa sendiri bisa dipertanyakan jika salah satu fondasi utamanya, yakni ekonomi Prancis, mulai runtuh. Oleh karena itu, perhatian dari lembaga-lembaga Eropa kini semakin tajam terhadap arah kebijakan ekonomi Paris.
Heinemann juga mengkritik Komisi Eropa yang terlalu lunak terhadap Prancis selama ini. Menurutnya, ketakutan terhadap populisme membuat Brussel enggan menekan Prancis secara serius untuk menurunkan utangnya. Sementara itu, opsi solusi yang tersedia sangat terbatas: pemotongan anggaran, reformasi tunjangan, atau menaikkan pajak—semuanya sulit diterima secara politik.
Jika tidak segera diatasi, krisis keuangan ini bisa berubah menjadi krisis politik yang lebih dalam. Dengan oposisi yang semakin kuat, partai populis dari kiri dan kanan bisa memanfaatkan ketidakpuasan rakyat untuk menekan pemerintah lebih jauh. Hal ini bukan hanya ancaman bagi Prancis, tapi juga bagi masa depan Uni Eropa secara keseluruhan.