iNews Complex – Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Ibu Negara Brigitte Macron tengah menghadapi kasus hukum di Amerika Serikat. Pada Juli lalu, pasangan ini menggugat Candace Owens, seorang influencer dan komentator politik asal AS, di pengadilan Delaware. Gugatan tersebut diajukan setelah Owens berulang kali menyebarkan tuduhan bahwa Brigitte Macron adalah seorang transgender.
Owens mengeklaim bahwa Brigitte Macron awalnya lahir sebagai laki-laki dengan nama Jean-Michel Trogneux sebelum bertransisi menjadi perempuan. Klaim itu dipublikasikan secara berulang di berbagai platform dan dianggap merusak reputasi Brigitte sebagai Ibu Negara Prancis. Tuduhan tersebut sontak menimbulkan kehebohan, tidak hanya di Prancis tetapi juga di ranah internasional.
“Baca Juga : Kemenhan Respons Wacana Akuisisi Kapal Induk Giuseppe Garibaldi”
Sebagai langkah hukum, Macron berencana menyajikan foto dan bukti ilmiah untuk membuktikan bahwa sang istri adalah seorang perempuan biologis. Menurut tim kuasa hukum, bukti ini penting untuk melawan tuduhan Owens yang dianggap tak berdasar dan berbahaya. Macron menilai serangan personal terhadap keluarganya tidak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi menyangkut isu sensitif seperti identitas gender.
Pengacara Macron, Tom Clare, menyebut tuduhan Owens sebagai hal yang “sangat meresahkan” dan “pengalih perhatian” bagi Presiden Prancis. Dalam wawancara dengan podcast BBC Fame Under Fire, Clare menegaskan bahwa serangan ini bukan hanya merugikan Brigitte, tetapi juga berdampak pada kehidupan pribadi Macron. “Seperti siapa pun yang menyeimbangkan karier dan keluarga, serangan terhadap keluarga pasti membawa beban tersendiri,” jelasnya.
“Simak Juga : Kapal Hantu FJ King di Great Lakes Akhirnya Ditemukan”
Meski Macron dikenal tegas dalam dunia politik, isu yang menyerang keluarganya tetap menimbulkan tekanan. Clare menyebut bahwa Macron tidak kebal terhadap serangan pribadi hanya karena ia seorang presiden. Situasi ini menunjukkan bahwa tokoh publik sekalipun tetap memiliki sisi manusiawi ketika orang terdekat mereka menjadi sasaran fitnah.
Kasus Macron vs Owens memperlihatkan bagaimana disinformasi dan teori konspirasi dapat dengan cepat menyebar di era digital. Tuduhan tanpa dasar tidak hanya berpotensi merusak reputasi pribadi, tetapi juga bisa mengganggu stabilitas politik. Dengan membawa kasus ini ke pengadilan AS, Macron sekaligus memberi sinyal bahwa fitnah publik, apalagi terkait identitas seseorang, harus dilawan secara hukum.