iNews Complex – Perdana Menteri PM Thailand Anutin Charnvirakul menyampaikan sikap keras pemerintahnya terkait konflik yang terus memanas dengan Kamboja. Usai laporan tewasnya seorang warga sipil akibat serangan roket, Anutin menegaskan bahwa tidak ada rencana maupun kesepakatan gencatan senjata hingga Senin malam, 15 Desember 2025. Pernyataan ini mencerminkan suasana emosional dan tekanan besar yang dirasakan pemerintah Thailand di tengah situasi genting. Anutin menekankan bahwa negara akan berdiri teguh mempertahankan kedaulatan wilayah dan keselamatan rakyatnya dengan segala cara. Dalam nada yang tegas namun sarat pesan nasionalisme, ia menegaskan bahwa Thailand tidak akan berkompromi ketika menyangkut integritas teritorial. Pernyataan tersebut sekaligus menutup peluang dialog damai dalam waktu dekat.
Korban Sipil Pertama dan Luka Mendalam
Kematian seorang warga sipil Thailand berusia 63 tahun di distrik Kantaralak, Provinsi Si Sa Ket, menjadi titik balik emosional dalam konflik ini. Pria tersebut dilaporkan tewas akibat roket BM-21 yang ditembakkan dari wilayah Kamboja. Peristiwa ini menandai korban sipil langsung pertama di pihak Thailand sejak konflik kembali pecah. Duka mendalam menyelimuti masyarakat setempat, memperkuat rasa takut sekaligus kemarahan publik. Selain korban sipil, seorang tentara Thailand juga gugur akibat serangan artileri di wilayah yang sama. Tragedi ini memperjelas bahwa konflik tidak lagi terbatas pada sasaran militer, melainkan telah menyentuh kehidupan warga biasa, memperbesar tekanan terhadap pemerintah untuk bersikap lebih keras.
Data Korban yang Terus Bertambah
Seiring berjalannya waktu, jumlah korban akibat konflik Thailand–Kamboja terus meningkat. Hingga pertengahan Desember 2025, tercatat 16 tentara Thailand tewas dan 327 lainnya mengalami luka-luka. Sembilan korban meninggal lainnya dilaporkan memiliki kondisi medis sebelumnya yang memburuk akibat situasi konflik. Angka-angka ini menggambarkan betapa serius dan berdarahnya bentrokan di wilayah perbatasan. Sementara itu, pihak Kamboja belum merilis data resmi mengenai korban militernya. Ketidakjelasan informasi ini memperkuat ketegangan dan memicu spekulasi di tingkat regional. Bagi masyarakat Thailand, setiap laporan korban baru bukan sekadar statistik, melainkan luka emosional yang memperdalam rasa ketidakamanan.
Protes Thailand ke PBB
Merespons eskalasi kekerasan, Kementerian Luar Negeri Thailand mengajukan protes resmi kepada badan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Thailand menuduh Kamboja melakukan serangan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap target non-militer. Langkah diplomatik ini menunjukkan bahwa konflik tidak hanya berlangsung di medan perang, tetapi juga di panggung internasional. Pemerintah Thailand berharap komunitas global memberi perhatian serius terhadap situasi tersebut. Namun, di saat yang sama, langkah ini juga mencerminkan kekecewaan atas gagalnya mekanisme perdamaian yang ada. Thailand ingin menunjukkan bahwa tindakannya memiliki dasar hukum dan moral, sekaligus menekan Kamboja agar bertanggung jawab atas dampak kemanusiaan konflik.
“Simak Juga : Gaji Pas-pasan, Mimpi Kaya Tetap Nyata: Mengikuti Jejak Bijak Warren Buffett”
Jam Malam dan Dampak pada Warga Perbatasan
Ketegangan yang meningkat memaksa pemerintah Thailand memberlakukan jam malam di sejumlah wilayah perbatasan. Angkatan Laut Thailand menetapkan jam malam di lima distrik di Provinsi Trat, sementara angkatan darat melakukan langkah serupa di Provinsi Sa Kaeo. Kebijakan ini berdampak langsung pada kehidupan warga, membatasi aktivitas ekonomi dan sosial. Di balik langkah keamanan tersebut, tersimpan kegelisahan masyarakat yang harus beradaptasi dengan situasi darurat. Lebih dari 500.000 warga dilaporkan mengungsi dari kawasan perbatasan sepanjang 800 kilometer. Mereka meninggalkan rumah dan mata pencaharian, membawa ketidakpastian tentang masa depan dan rasa trauma yang mendalam.
Gagalnya Upaya Damai dan Bayang-bayang Eskalasi
Konflik terbaru ini menggagalkan kesepakatan damai yang sebelumnya dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Harapan akan stabilitas regional kembali runtuh ketika pertempuran pecah dengan intensitas lebih tinggi. Kegagalan ini memperlihatkan rapuhnya proses diplomasi di tengah kepentingan politik dan militer masing-masing negara. Bagi Thailand, sikap keras Perdana Menteri Anutin mencerminkan keyakinan bahwa keamanan nasional tidak bisa ditawar. Namun, bagi kawasan Asia Tenggara, situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi lebih luas. Konflik yang berlarut-larut berpotensi mengganggu stabilitas regional dan meninggalkan dampak kemanusiaan yang semakin berat bagi warga di kedua sisi perbatasan.