iNews Complex – Dunia kembali diguncang oleh keputusan kontroversial dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menaikkan tarif menjadi 100 persen untuk seluruh produk asal China.
Tak hanya itu, Trump juga mengumumkan larangan ekspor perangkat lunak penting dari AS, yang akan berlaku mulai 1 November 2025. Keputusan ini sontak membatalkan rencana pertemuan dengan Presiden China, Xi Jinping, serta menyulut kembali bara perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Selama beberapa bulan terakhir, hubungan antara AS dan China memang tampak membaik. Bahkan, agenda KTT APEC yang dijadwalkan akhir bulan di Korea Selatan disebut-sebut sebagai panggung pertemuan antara Trump dan Xi. Namun, pengumuman Trump kali ini mengubah segalanya.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut kebijakan ini sebagai respons atas langkah “sangat agresif” dari China yang membatasi ekspor mineral tanah jarang, komoditas krusial dalam industri teknologi global.
“Sulit dipercaya China akan mengambil langkah seperti itu, tetapi mereka melakukannya, dan sisanya adalah sejarah,” tulis Trump.
“Baca Juga : Rupiah Tertekan ke Level Rp16.578 per Dolar AS, Analis Sebut Dampak Pernyataan The Fed”
Tidak butuh waktu lama, reaksi pasar langsung terasa. Bursa saham AS mengalami penurunan tajam:
Investor panik. Dunia bisnis terkejut. Ketegangan dagang yang sempat mereda kini kembali menyala. Sebagian analis menyebutnya sebagai gelombang kedua dari perang dagang AS-China yang pertama kali meletus pada masa jabatan pertama Trump.
Trump memang bukan baru kali ini menerapkan kebijakan proteksionis terhadap China. Sebelumnya, di masa pemerintahannya yang pertama, ia telah menetapkan tarif 30 persen atas barang-barang China, dengan alasan praktik perdagangan tidak adil dan penyebaran fentanyl.
Namun, tarif baru 100 persen ini merupakan langkah paling agresif yang pernah diumumkan. Dampaknya bisa meluas, mulai dari harga produk konsumen di AS, jalur distribusi global, hingga hubungan diplomatik jangka panjang.
Sebagai respons, China juga bersiap memberlakukan tarif 10 persen terhadap produk AS. Namun yang paling disorot adalah sikap China dalam memainkan kebijakan ekspor mineral tanah jarang, yang disebut menjadi pemicu utama eskalasi ini.
Tanah jarang atau rare earth minerals merupakan komponen vital dalam pembuatan:
Ketergantungan global terhadap pasokan tanah jarang dari China membuat keputusan mereka sangat berdampak. Trump menilai hal itu sebagai bentuk penyanderaan ekonomi global, dan menegaskan tak akan membiarkan kondisi itu terus terjadi.
“Tidak boleh ada alasan bagi China untuk menyandera dunia,” tegas Trump.
Sebelum pengumuman tarif, Trump dan Xi Jinping dijadwalkan bertemu dalam forum APEC di Korea Selatan. Namun, setelah eskalasi ini, Trump mengindikasikan bahwa pertemuan tersebut mungkin dibatalkan.
“Beberapa hal aneh sedang terjadi di China. Mereka menjadi sangat bermusuhan,” ujar Trump.
Ia juga menyebut telah menerima laporan dari negara-negara lain yang merasa tidak nyaman dengan kebijakan ekspor mineral China. Artinya, bukan hanya AS yang merasa terancam, tapi negara lain juga mulai merasakan dampaknya.
Perang dagang skala besar tidak hanya berdampak pada dua negara yang berseteru. Efeknya bisa menyebar ke seluruh dunia.
Beberapa negara yang tidak terlalu bergantung pada ekspor China atau AS bisa mendapat keuntungan jangka pendek melalui pengalihan pasar. Namun negara dengan rantai pasok global yang kompleks bisa mengalami gangguan besar.
Industri teknologi, otomotif, dan manufaktur akan menjadi sektor pertama yang merasakan tekanan. Terlebih, komponen seperti semikonduktor dan logam langka banyak diproduksi atau dirakit di China.
Para analis dan ekonom global memperingatkan bahwa kebijakan ini bisa menciptakan ketidakpastian baru di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik lainnya.
Beberapa menyebut langkah Trump sebagai strategi kampanye menjelang pemilu. Namun, dampaknya nyata dan cepat terasa.
“Jika konflik ini terus berlanjut, dunia harus bersiap menghadapi inflasi baru,” kata salah satu analis dari Bloomberg.