iNews Complex – Ketegangan antara Venezuela dan Amerika Serikat (AS) kembali meningkat setelah operasi angkatan laut AS di Karibia menewaskan 17 orang yang dituduh terlibat penyelundupan narkoba. Menyusul insiden itu, Presiden Nicolas Maduro memerintahkan pengerahan milisi sipil untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Edith Perales, perempuan berusia 68 tahun, menjadi salah satu wajah dari Milisi Bolivarian Nasional yang dibentuk mendiang Presiden Hugo Chávez pada 2009. Ia masih mengingat pesan Chávez: “Kita harus mampu mempertahankan setiap jengkal tanah air agar tidak ada yang mengganggu kita.” Kini, lebih dari satu dekade kemudian, Perales kembali mengenakan seragam dan sepatu bot, berjaga di lingkungannya di Caracas.
“Saya siap mengabdi kapan pun dipanggil. Kita harus membela tanah air,” ujarnya, sejalan dengan seruan Maduro usai serangan yang menghantam kapal Venezuela.
“Baca Juga : Pidato Prabowo di PBB Tuai Apresiasi, Disebut Pantas Jadi Pemimpin Alternatif Dunia”
Militer AS menyebut operasi tersebut sebagai bagian dari misi antinarkotika. Tiga kapal dihancurkan, dengan korban jiwa mencapai 17 orang. Namun, Menteri Pertahanan Venezuela, Vladimir Padrino, mengecam langkah itu sebagai bentuk “perang yang tidak dideklarasikan” terhadap negaranya.
Meski analis menilai pengerahan pasukan AS belum mengindikasikan invasi langsung, ketegangan politik semakin meruncing. Situasi diperparah oleh sikap pemerintahan Donald Trump, yang menolak mengakui kemenangan Maduro dalam pemilu 2024 dan justru menganggap oposisi Edmundo Gonzalez sebagai pemenang sah.
Untuk merespons ancaman, Maduro memerintahkan Angkatan Bersenjata Bolivarian Nasional (FANB) melatih warga sipil. Latihan dilakukan di kawasan miskin, termasuk Petare, salah satu daerah terpadat di Caracas. Tentara turun membawa tank, senapan buatan Rusia tanpa peluru, dan poster instruksi.
Francisco Ojeda, pria berusia 69 tahun, memegang senapan AK-103 dengan penuh semangat. “Jika saya harus mengorbankan nyawa, saya akan melakukannya,” katanya. Semangat serupa disampaikan oleh Gladys Rodriguez (67), yang baru bergabung. “Kami tidak akan membiarkan pemerintah AS datang dan menyerang.”
Namun, tidak semua warga merasa percaya diri. Yarelis Jaimes (38), seorang ibu rumah tangga, mengaku gugup saat pertama kali memegang senjata. “Saya merasa nervous, tetapi saya yakin bisa belajar,” ujarnya.
“Simak Juga : Tengkorak Berusia 1 Juta Tahun Bisa Ubah Sejarah Asal-Usul Manusia Modern”
Maduro terus melontarkan retorika keras kepada AS. Namun, di balik itu, ia juga sempat mengirim surat kepada Washington untuk membuka dialog—yang langsung ditolak Gedung Putih.
Di Petare, latihan milisi berlangsung dengan penuh semangat. Tetapi, di luar wilayah tersebut, kehidupan tetap berjalan normal, dengan sebagian warga tak terlalu menghiraukan isu ancaman invasi.
“Yang penting adalah membiasakan diri dengan senjata; kita membidik sasaran dan mengenai sasaran,” kata seorang peserta latihan.
Langkah Maduro ini memperlihatkan tekad mempertahankan kedaulatan, sekaligus menunjukkan bagaimana milisi sipil kembali menjadi garda terdepan di tengah ancaman geopolitik yang semakin panas.