iNews Complex – Industri tekstil nasional kembali mengalami tekanan. Kali ini datang dari masuknya barang impor secara ilegal. Sejumlah pelaku industri menyatakan keresahan mereka. Banyak barang impor tanpa bea masuk yang membanjiri pasar. Harga jualnya jauh di bawah produk lokal. Akibatnya, pabrik dalam negeri kehilangan daya saing. Bahkan sebagian terpaksa mengurangi produksi secara drastis. Ini berdampak langsung pada lapangan kerja di sektor padat karya. Serikat pekerja pun mulai menyuarakan kegelisahan yang sama.
Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia menunjukkan tren peningkatan impor tekstil. Banyak dari barang tersebut masuk tanpa prosedur resmi. Modusnya beragam, mulai dari undervalue hingga penyelundupan langsung. Barang-barang tersebut didistribusikan melalui jalur tidak resmi. Bahkan bisa masuk ke pasar tradisional dan toko online. Harga yang terlalu murah memicu perang harga. Pabrikan lokal kesulitan bersaing tanpa melanggar aturan. Ini merusak iklim industri yang telah dibangun puluhan tahun.
“Baca Juga : Duakomalima: Aplikasi Anak Bangsa untuk Perhitungan Zakat”
Komisi VI DPR RI memanggil pihak Bea Cukai untuk memberi klarifikasi. Mereka menilai pengawasan terlalu longgar di lapangan. Terutama di pelabuhan kecil dan titik rawan penyelundupan. DPR juga mencurigai adanya kelalaian sistem pengawasan digital. Sistem INSW dan modul kepabeanan dinilai belum optimal. Legislator menuntut integrasi data antarinstansi. Tujuannya agar potensi manipulasi data dapat diminimalkan. Selain itu, mereka meminta audit menyeluruh terhadap importir tekstil. Tujuannya untuk menindak pelaku penyelundupan sistematis.
Bea Cukai menyatakan bahwa pengawasan berbasis teknologi sedang dikembangkan. Sistem smart surveillance sudah mulai diterapkan di beberapa pelabuhan utama. Namun masih terkendala anggaran dan integrasi sistem lama. Untuk itu, DPR mendesak alokasi dana khusus dari APBN. Dengan kecerdasan buatan dan data mining, potensi manipulasi bisa dideteksi dini. Bahkan bisa memetakan pola impor mencurigakan dari pelabuhan tertentu. Sistem digital ini diyakini bisa menekan celah pelanggaran yang merugikan negara.
“Simak juga: Profil Anggoro Eko Cahyo, Dirut Baru Bank Syariah Indonesia”
Industri tekstil adalah salah satu penyerap tenaga kerja terbesar. Ketika produksi turun, ancaman PHK langsung menghantui. Banyak pekerja buruh kontrak tidak diperpanjang masa kerjanya. Beberapa pabrik bahkan menutup lini produksinya secara permanen. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap ekonomi daerah. Terutama daerah yang bergantung pada industri tekstil seperti Majalaya, Solo, dan Pekalongan. Pemerintah diminta cepat bertindak agar tidak terjadi gelombang PHK massal.
Pelaku industri mengeluhkan dua tekanan sekaligus. Pertama, dari barang impor legal yang membayar bea tapi tetap lebih murah. Kedua, dari impor ilegal yang tidak membayar bea dan menyusup lewat jalur abu-abu. Tekanan ini memaksa mereka mengurangi kualitas demi bertahan. Bahkan ada yang mulai beralih ke pasar ekspor. Namun persaingan ekspor pun tidak kalah ketat. Negara lain juga melakukan dumping harga secara sistematis. Ini menjadi tantangan besar bagi industri dalam negeri.
DPR meminta Kementerian Perdagangan, Perindustrian, dan Keuangan duduk bersama. Mereka harus membuat roadmap perlindungan industri tekstil. Tidak cukup hanya bergantung pada Bea Cukai. Perlu sinergi antar kementerian untuk atasi impor ilegal. Salah satunya dengan regulasi kuota atau pengetatan izin impor. Juga peningkatan kualitas sertifikasi barang masuk. DPR juga menyarankan pembentukan satgas khusus. Satgas ini akan mengawasi praktik perdagangan tidak sehat di pasar domestik.
Beberapa ekonom menyarankan proteksi selektif. Bukan menutup impor, tetapi mengatur kuantitas dan kualitas. Pemerintah bisa menetapkan tarif masuk lebih tinggi untuk jenis tertentu. Misalnya produk yang sudah bisa diproduksi dalam negeri. Selain itu, perlu kampanye nasional untuk menggunakan produk lokal. Baik di sektor pemerintahan maupun ritel modern. Dukungan konsumsi dalam negeri sangat penting untuk bertahan. Jika tidak, industri tekstil bisa terus tergerus hingga kolaps.
Menanggapi desakan DPR, Bea Cukai berjanji akan mempercepat modernisasi pengawasan. Mereka akan melibatkan AI dalam analisis dokumen impor. Sistem akan menandai potensi anomali dari negara asal atau nilai barang. Juga akan dibangun sistem tracking logistik hingga ke gudang akhir. Bea Cukai meminta waktu untuk proses ini berjalan sempurna. Namun mereka memastikan bahwa komitmen perlindungan industri tetap kuat. Mereka juga membuka kanal pengaduan dari pelaku usaha terkait praktik curang.
Meski secara konsep terlihat menjanjikan, banyak tantangan di lapangan. Salah satunya adalah keterbatasan sumber daya manusia terlatih. Juga rendahnya literasi teknologi di kalangan petugas pengawasan. Selain itu, praktik suap dan kolusi masih menjadi kendala serius. Pemerintah perlu membenahi dari akar persoalan. Tidak cukup dengan teknologi, tapi juga perbaikan etika kerja. Pelatihan dan pembinaan pegawai harus jadi prioritas. Agar teknologi yang canggih tidak sia-sia karena ulah oknum.
Industri tekstil nasional berada di ujung tanduk. Para pelaku usaha menanti langkah nyata dari pemerintah. Mereka berharap perlindungan tidak hanya di atas kertas. Melainkan implementasi tegas di lapangan. Tanpa itu, mereka akan terus kalah dari produk asing murah. Mereka juga meminta stimulus untuk menggenjot produksi kembali. Termasuk insentif pajak dan keringanan bahan baku. Jika tidak segera diatasi, ancaman ini bisa menjadi krisis jangka panjang. Tekstil sebagai industri strategis harus diselamatkan dengan serius.