iNews Complex – Presiden Prancis Emmanuel Macron kembali menuai reaksi keras dari publik. Kunjungan kenegaraan yang seharusnya berlangsung damai berubah gaduh. Demonstran hadir di berbagai titik dengan spanduk dan pekikan protes. Mereka membawa isu-isu besar yang selama ini dianggap diabaikan. Mulai dari hak asasi manusia, kebijakan luar negeri, hingga krisis iklim. Aksi-aksi ini tidak hanya terjadi di Paris. Beberapa kota lain turut diguncang unjuk rasa besar. Polisi pun dikerahkan dalam jumlah besar. Situasi ini mencerminkan ketegangan antara pemerintah dan rakyat. Macron pun dituntut memberikan jawaban konkret atas banyak tudingan.
Demonstran menyoroti sejumlah kebijakan yang dianggap mengekang kebebasan sipil. Salah satunya adalah undang-undang keamanan yang kontroversial. UU ini memberi kewenangan besar pada aparat. Banyak aktivis HAM menyebut ini sebagai kemunduran demokrasi. Organisasi internasional pun ikut bersuara, termasuk Amnesty International. Mereka menilai kebijakan Macron merusak reputasi Prancis. Aksi represi terhadap demonstran sebelumnya menjadi alasan utama protes ini. Banyak rekaman menunjukkan kekerasan oleh polisi saat membubarkan massa. Hal itu menambah amarah publik yang sudah memuncak. Sorotan terhadap isu HAM terus meningkat. Macron belum memberikan pernyataan tegas mengenai hal ini.
“Baca Juga : Vivo V50 Lite: Ponsel dengan Performa Optimal dan Harga Terjangkau”
Kebijakan imigrasi Macron turut menjadi sasaran kemarahan massa. Banyak warga menilai pendekatannya terlalu ketat dan tidak manusiawi. Pengungsi dari negara konflik seperti Suriah dan Sudan kesulitan masuk. Selain itu, deportasi terhadap pencari suaka meningkat tajam. Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini demi stabilitas nasional. Namun kelompok pembela migran menolak argumen tersebut. Mereka menuding Macron tunduk pada tekanan kelompok sayap kanan. Bahkan beberapa pengungsi kini ditahan dalam kondisi tidak layak. Hal ini menambah ketegangan sosial di berbagai komunitas. Demonstrasi kali ini juga menampilkan wajah-wajah imigran yang kecewa.
Kelompok lingkungan hidup juga ambil bagian besar dalam demonstrasi. Mereka menuding Macron tidak serius menangani krisis iklim. Prancis dianggap gagal mencapai target pengurangan emisi karbon. Pembangunan proyek besar seperti bandara dan bendungan dikritik habis. Banyak proyek dinilai mengabaikan kelestarian alam sekitar. Aktivis muda seperti Greta Thunberg ikut menyindir Macron. Mereka menyebut langkah pemerintah terlalu lambat dan tidak berani. Aksi simbolik menanam pohon dan membawa es mencair jadi sorotan media. Isu lingkungan kini menjadi pendorong utama demonstrasi lintas generasi. Dari mahasiswa hingga pensiunan, semua turun ke jalan dengan tuntutan yang sama.
“Simak juga: Dian Siswarini Buktikan Gender Bukan Penghalang Kepemimpinan”
Selain HAM dan lingkungan, isu sosial pun ikut mengemuka. Ketimpangan ekonomi semakin dirasakan oleh rakyat bawah. Kebijakan pajak dan subsidi dianggap lebih menguntungkan elite. Program reformasi pensiun Macron juga mengundang kontroversi. Banyak buruh dan pekerja merasa hak mereka dikurangi. Demonstran membawa poster-poster bernada satir dan pedas. Mereka menyebut Macron sebagai “Presiden Orang Kaya”. Sebutan ini muncul dari gaya kepemimpinan yang dianggap elitis. Sementara itu, harga kebutuhan pokok terus melonjak. Hal ini memperparah tekanan pada kelas menengah dan bawah. Protes sosial menjadi sangat beragam dalam isu dan bentuknya.
Macron tidak tinggal diam menghadapi gelombang protes ini. Ia menggelar konferensi pers dan menyatakan siap berdialog. Namun pernyataan ini dianggap normatif dan tidak memuaskan. Banyak pihak menilai Macron hanya berusaha meredam gejolak. Ia belum menunjukkan itikad untuk mengubah kebijakan secara nyata. Pemerintah bahkan mengerahkan lebih banyak polisi ke lokasi demonstrasi. Hal ini menambah kesan bahwa pendekatan represi masih dipilih. Beberapa tokoh oposisi menuding Macron kehilangan arah. Mereka menuntut pemilu dini atau referendum kebijakan. Tekanan politik terhadap pemerintahan kini semakin berat. Demonstrasi bisa berubah menjadi gelombang perlawanan lebih besar.
Demonstrasi besar ini tidak hanya jadi perhatian nasional. Media internasional meliputnya secara luas dan mendalam. Beberapa pemimpin dunia ikut menanggapi situasi di Prancis. Mereka mendesak Macron untuk mendengarkan suara rakyatnya. Sementara itu, aktivis dari negara lain menyatakan solidaritas. Tagar #MacronProtests menjadi trending di media sosial global. Kampanye online memperkuat suara demonstran di jalan. Banyak juga warga diaspora Prancis menggelar aksi serupa di luar negeri. Ini menunjukkan bahwa isu-isu lokal kini berdampak global. Macron harus menyadari bahwa reputasinya dipertaruhkan di mata dunia. Tidak hanya sebagai presiden, tapi juga sebagai simbol demokrasi Eropa.
Gelombang demonstrasi yang besar bisa berdampak pada stabilitas nasional. Kepercayaan publik terhadap pemerintah menurun drastis. Ini terlihat dari survei yang menunjukkan penurunan elektabilitas Macron. Partai oposisi pun mulai merapatkan barisan. Mereka memanfaatkan momen ini untuk memperkuat posisi politik. Di parlemen, usulan interpelasi terhadap kebijakan pemerintah mulai bergulir. Di luar itu, kemungkinan munculnya tokoh alternatif makin besar. Pemilu mendatang bisa menjadi ajang evaluasi rakyat terhadap Macron. Jika tidak ada perubahan, ia bisa kehilangan dukungan besar. Situasi ini menciptakan ketidakpastian dalam iklim politik nasional. Semua pihak kini menanti langkah selanjutnya dari presiden Prancis.