iNews Complex – Kesehatan gigi dan mulut sering kali dianggap sepele di Indonesia. Padahal, dampaknya bisa sangat luas. Bukan hanya sekadar sakit gigi. Tapi juga bisa memengaruhi kualitas hidup secara menyeluruh. Berdasarkan laporan terbaru dari lembaga kesehatan independen, kondisi gigi masyarakat Indonesia jauh lebih parah dibanding data resmi yang dilaporkan pemerintah. Banyak kasus kerusakan gigi, infeksi, hingga kehilangan gigi permanen tidak tercatat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan profesional medis. Mereka menyebut krisis ini sebagai “epidemi diam-diam” yang diabaikan terlalu lama.
Kementerian Kesehatan memang merilis data rutin soal status kesehatan gigi nasional. Tapi banyak pengamat menyebut angka itu tidak realistis. Survei dilakukan dalam skala terbatas. Banyak daerah terpencil dan padat penduduk tidak tersentuh survei. Akibatnya, data yang dipublikasikan menjadi bias. Misalnya, angka resmi menyebut hanya 30% anak-anak usia sekolah mengalami gigi berlubang. Padahal studi lapangan di sekolah-sekolah urban menunjukkan angka bisa mencapai 80%. Ketidaksesuaian ini menimbulkan pertanyaan besar soal validitas data nasional.
“Baca Juga : Mengapa Boikot China ke Boeing Picu Kekhawatiran AS”
Salah satu alasan utama kenapa data lapangan lebih buruk adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan gigi. Banyak warga hanya datang ke dokter gigi saat rasa sakit sudah tak tertahankan. Budaya “menunggu sakit” ini menjadi kebiasaan yang merugikan. Akibatnya, banyak kerusakan gigi yang sudah parah baru tertangani saat sudah tidak bisa diselamatkan. Dalam beberapa kasus, pasien bahkan harus mencabut beberapa gigi dalam satu kunjungan. Hal ini tentu saja tidak hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga berdampak psikologis.
Faktor lain yang memperparah situasi adalah distribusi dokter gigi yang sangat timpang. Di kota-kota besar mungkin akses cukup mudah. Tapi di daerah pedesaan, rasio dokter gigi sangat rendah. Ada kabupaten yang hanya memiliki dua dokter gigi untuk puluhan ribu penduduk. Selain itu, banyak puskesmas belum memiliki fasilitas kedokteran gigi lengkap. Peralatan usang, tidak steril, bahkan tidak tersedia sama sekali. Ini membuat masyarakat enggan memeriksakan diri karena merasa tidak akan mendapatkan pelayanan yang layak.
“Simak juga: Menteri KKP Pertanyakan Pagar Laut di Tangerang, Ada Reklamasi?”
Pendidikan soal kesehatan gigi dan mulut juga belum menjadi prioritas di sekolah maupun masyarakat umum. Banyak anak-anak yang tidak pernah diajarkan cara menyikat gigi dengan benar. Bahkan tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mengganti sikat gigi. Kurangnya pengetahuan dasar ini menimbulkan kebiasaan buruk sejak usia dini. Jika tidak ditangani sejak kecil, risiko kerusakan gigi akan berlanjut sampai dewasa. Pemerintah daerah belum menjadikan edukasi ini sebagai bagian dari kurikulum wajib atau program promosi kesehatan.
Masalah gigi bukan hanya soal rasa nyeri. Tapi juga bisa mengganggu produktivitas kerja dan pendidikan. Anak-anak yang mengalami sakit gigi cenderung absen sekolah. Sulit berkonsentrasi, dan cenderung rendah prestasi akademik. Orang dewasa pun tak lepas dari dampaknya. Banyak pekerja mengaku sering izin kerja karena sakit gigi. Ini berdampak pada kinerja dan kepercayaan perusahaan. Di sisi lain, biaya pengobatan gigi juga tergolong tinggi. Terutama untuk prosedur lanjutan seperti tambal, cabut, atau pasang gigi palsu.
Melihat kondisi ini, para ahli kesehatan gigi menuntut adanya reformasi dalam kebijakan publik. Pemerintah diminta untuk menambah anggaran layanan gigi di puskesmas. Termasuk menambah jumlah dokter gigi lewat beasiswa dan penempatan khusus. Selain itu, dibutuhkan integrasi antara data lapangan dan sistem pelaporan nasional. Dengan begitu, perencanaan kebijakan bisa lebih akurat dan efektif. Saat ini, terlalu banyak program yang sifatnya seremonial dan tidak menyentuh akar masalah. Tanpa perubahan menyeluruh, epidemi ini akan terus memburuk dan merugikan generasi mendatang.