iNews Complex – Pertamina, perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia, kembali menjadi sorotan setelah laporan keuangannya menunjukkan kerugian triliunan rupiah. Di tengah naik turunnya harga minyak global, banyak pihak mempertanyakan penyebab utama dari kondisi ini. Apakah faktor eksternal lebih dominan, atau ada masalah internal yang turut berkontribusi?
Salah satu penyebab utama kerugian Pertamina adalah fluktuasi harga minyak dunia. Ketika harga minyak mentah melonjak, biaya impor bahan baku meningkat, sementara harga jual BBM dalam negeri tetap dikontrol pemerintah. Ini menciptakan tekanan besar terhadap keuangan perusahaan.
“Baca Juga : iPad Gen 11 Resmi Meluncur, Pakai Chip A16 dan Lebih Murah”
Sebaliknya, ketika harga minyak turun drastis, margin keuntungan dari ekspor minyak mentah juga ikut menurun. Pertamina harus berhadapan dengan kondisi yang serba sulit karena ketidakstabilan pasar global yang berdampak langsung pada operasionalnya.
Sebagai perusahaan milik negara, Pertamina harus menjalankan kebijakan subsidi BBM. Pemerintah Indonesia menetapkan harga BBM bersubsidi agar tetap terjangkau bagi masyarakat. Namun, ini sering kali membuat perusahaan menanggung selisih antara harga pasar dan harga jual.
“Simak juga: Erika Carlina Puas dengan Format 4DX Film Pabrik Gula, Prediksi 2 Juta Penonton”
Meskipun pemerintah memberikan kompensasi melalui dana subsidi, sering kali pencairannya tidak secepat kerugian yang dialami perusahaan. Hal ini menyebabkan arus kas Pertamina terganggu dan menciptakan defisit keuangan yang signifikan.
Selain faktor eksternal, biaya operasional yang tinggi juga menjadi tantangan bagi Pertamina. Mulai dari biaya eksplorasi, produksi, distribusi, hingga pemeliharaan infrastruktur, semuanya membutuhkan anggaran besar.
Banyak kilang minyak di Indonesia yang sudah berusia tua dan memerlukan investasi besar untuk modernisasi. Namun, keterbatasan dana membuat proses peremajaan kilang berjalan lambat. Akibatnya, efisiensi produksi menurun dan biaya operasional menjadi lebih mahal.
Ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM masih menjadi masalah besar bagi Pertamina. Meskipun memiliki sumber daya minyak mentah yang cukup, kapasitas pengolahan dalam negeri belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan domestik.
Akibatnya, Pertamina harus mengimpor BBM dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan pasar. Ketika nilai tukar rupiah melemah, harga impor menjadi lebih mahal, dan ini semakin menekan kondisi keuangan perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pertamina telah melakukan berbagai proyek investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi dan ekspansi bisnis. Namun, beberapa proyek tersebut belum memberikan hasil yang optimal.
Misalnya, proyek pengembangan kilang baru yang masih dalam tahap konstruksi atau pengembangan ladang minyak yang belum mencapai produksi maksimal. Investasi besar yang belum memberikan keuntungan ini menjadi salah satu faktor yang membebani laporan keuangan perusahaan.
Meskipun menghadapi tantangan besar, Pertamina telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengatasi kerugian. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya yang tidak perlu.
Selain itu, perusahaan berupaya meningkatkan produksi dalam negeri agar ketergantungan terhadap impor BBM bisa dikurangi. Pengembangan energi terbarukan juga menjadi fokus, mengingat tren global yang mulai beralih dari bahan bakar fosil ke energi hijau.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, masa depan Pertamina masih penuh tantangan. Keberhasilan perusahaan dalam mengatasi kerugian akan sangat bergantung pada strategi bisnis dan dukungan kebijakan pemerintah.
Sebagai perusahaan negara, Pertamina harus tetap menjaga keseimbangan antara menjalankan misi sosial dan tetap bertahan secara finansial. Bagaimana perkembangan selanjutnya? Publik tentu menantikan langkah-langkah berikut yang akan diambil oleh perusahaan ini.