iNews Complex – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menurunkan tarif PPh Pasal 22 atas impor. Kebijakan ini berlaku untuk berbagai komoditas tertentu. Tujuannya adalah mendukung sektor industri dan menjaga stabilitas harga dalam negeri. Penurunan tarif ini menuai beragam respons dari pelaku usaha hingga pengamat ekonomi. Di satu sisi, ada potensi mendorong kelancaran arus barang. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran soal dampaknya terhadap penerimaan negara. Kebijakan fiskal ini menjadi sorotan utama dalam diskusi publik akhir-akhir ini.
PPh 22 impor merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas kegiatan impor barang tertentu. Pajak ini dipungut saat proses pembayaran bea masuk. Tujuan utamanya adalah mengamankan penerimaan negara sejak awal proses transaksi. Selain itu, PPh 22 juga menjadi instrumen untuk mengatur ritme impor. Ketika tarifnya tinggi, biaya impor meningkat dan otomatis menekan permintaan. Sebaliknya, penurunan tarif akan menurunkan beban biaya impor dan memberi ruang gerak pada pelaku usaha. Karena itu, kebijakan ini sangat strategis bagi fiskal nasional.
“Baca Juga : UN Baru akan Fokus pada Kompetensi Bukan Hafalan”
Penurunan tarif PPh 22 ini dilakukan dalam rangka memperkuat perekonomian domestik. Pemerintah ingin merangsang aktivitas industri yang selama ini bergantung pada bahan baku impor. Kenaikan harga global membuat biaya produksi ikut melonjak. Dengan menurunkan pajak impor, diharapkan beban biaya tersebut bisa ditekan. Kebijakan ini juga menjadi bagian dari langkah antisipatif terhadap tekanan inflasi. Harga komoditas tertentu yang tinggi bisa lebih stabil jika pasokan meningkat. Pemerintah berharap industri dalam negeri tetap berdaya saing dan tidak terbebani.
Tidak semua barang impor mendapat penurunan tarif PPh 22. Pemerintah memilih secara selektif berdasarkan urgensi dan nilai strategisnya. Beberapa komoditas yang mendapat relaksasi adalah bahan baku industri tekstil, baja, serta mesin dan alat berat. Barang-barang tersebut dianggap krusial untuk menunjang produksi. Selain itu, ada juga produk pertanian tertentu yang diturunkan tarifnya untuk menjaga ketahanan pangan. Pemerintah menegaskan bahwa komoditas konsumsi yang berpotensi mengganggu industri lokal tetap dikenakan tarif normal atau lebih tinggi.
“Simak juga: Gempa Vanuatu Hancurkan Gedung Diplomatik AS”
Penurunan PPh 22 memberikan angin segar bagi pelaku industri dalam negeri. Biaya impor yang lebih rendah membuat harga produksi menjadi lebih efisien. Hal ini sangat penting bagi sektor manufaktur yang sedang bergeliat pulih pasca pandemi. Selain itu, investor juga melihat kebijakan ini sebagai sinyal positif. Stabilitas biaya produksi bisa mendorong investasi baru di sektor pengolahan. Pemerintah berharap langkah ini turut menggerakkan roda ekonomi di berbagai daerah. Efisiensi rantai pasok akan berimbas pada daya saing produk lokal di pasar global.
Meski bermanfaat bagi dunia usaha, kebijakan ini tetap menimbulkan konsekuensi fiskal. Penurunan tarif PPh 22 otomatis menurunkan jumlah pajak yang masuk ke kas negara. Dalam jangka pendek, potensi penerimaan dari sektor ini akan menurun. Namun pemerintah menegaskan bahwa potensi kehilangan tersebut bisa diganti dengan peningkatan aktivitas ekonomi. Jika produksi meningkat, maka penerimaan dari pajak lain seperti PPh badan dan PPN akan bertambah. Dengan kata lain, kebijakan ini bersifat jangka menengah dan memerlukan waktu untuk melihat hasilnya secara menyeluruh.
Pengusaha umumnya menyambut baik kebijakan ini. Mereka merasa beban biaya impor yang selama ini tinggi akhirnya mendapat perhatian. Namun beberapa juga menyarankan agar kebijakan ini tidak bersifat sementara. Kepastian regulasi menjadi hal penting untuk dunia usaha. Jika kebijakan berubah-ubah, pengusaha sulit merencanakan strategi jangka panjang. Selain itu, ada harapan agar proses administrasi pengajuan fasilitas penurunan tarif dipermudah. Sebagian pelaku usaha mengaku birokrasi yang rumit masih menjadi tantangan dalam mengakses insentif fiskal ini.