iNews Complex – Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% mulai Januari 2025. Kebijakan ini diungkapkan oleh Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Parjiono, dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta pada 3 Desember 2024.
Kenaikan tarif ini menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Salah satu poin penting dari kebijakan ini adalah adanya pengecualian bagi kelompok tertentu, terutama masyarakat miskin dan sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok. Menurut Parjiono, pengecualian ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan meringankan beban kelompok yang rentan.
Barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN meliputi:
Dengan kebijakan ini, pemerintah memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat tidak terpengaruh oleh kenaikan tarif PPN.
Menurut penjelasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hasil dari kebijakan ini akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program sosial. Beberapa manfaat yang akan dirasakan antara lain:
Bantuan Sosial dan Subsidi Langsung:
Subsidi Barang dan Jasa Esensial:
Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp269,59 triliun untuk program sosial dan subsidi pada tahun 2023, dan anggaran ini diproyeksikan meningkat seiring pelaksanaan kebijakan baru.
Menurut Parjiono, kebijakan ini dirancang dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. Meskipun tarif PPN naik, subsidi dan program sosial berfungsi sebagai jaring pengaman bagi kelompok rentan.
“Daya beli menjadi prioritas utama. Kebijakan ini tidak hanya memungut, tetapi juga memberikan manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat,” jelas Parjiono.
Selain itu, pemerintah akan terus memantau dampak kenaikan tarif ini terhadap perekonomian dan mengambil langkah penyesuaian jika diperlukan.
Dalam acara yang sama, Ekonom Senior Indef, Aviliani, mendukung pernyataan Parjiono. Menurutnya, kenaikan PPN akan memberikan keseimbangan antara yang menerima dan memberikan pajak.
Namun, Aviliani juga menekankan pentingnya transparansi dan komunikasi pemerintah untuk memastikan masyarakat memahami manfaat kebijakan ini. “Pemerintah perlu menjelaskan dengan baik agar tidak menimbulkan resistensi di masyarakat,” ujarnya.
Salah satu kritik utama terhadap kebijakan ini adalah distribusi insentif perpajakan yang dianggap lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah atas. Parjiono mengakui bahwa pemerintah akan memperkuat subsidi untuk memastikan kebijakan ini lebih adil dan merata.
“Kita perkuat subsidi sebagai jaring pengaman. Insentif perpajakan harus lebih terarah kepada mereka yang benar-benar membutuhkan,” kata Parjiono.
Kenaikan tarif PPN diproyeksikan memberikan dampak positif dan negatif, tergantung pada implementasinya. Berikut adalah beberapa dampak yang mungkin terjadi:
Pendapatan Negara yang Meningkat:
Efek Inflasi Jangka Pendek:
Penguatan Jaring Sosial:
Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah bagaimana pemerintah menjelaskan manfaatnya kepada masyarakat. Menurut Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua barang dan jasa terkena pajak.
“Penyesuaian tarif PPN harus dilihat dari hasil akhirnya, yaitu manfaat yang akan kembali kepada rakyat dalam bentuk program sosial,” kata Dwi.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara sambil tetap melindungi kelompok masyarakat yang rentan. Dengan pengecualian untuk kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan, kebijakan ini dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat.
Meskipun ada tantangan dalam pelaksanaannya, subsidi dan program sosial yang dirancang sebagai jaring pengaman diharapkan dapat membantu masyarakat menghadapi perubahan ini. Transparansi dan komunikasi yang baik dari pemerintah akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.