iNews Complex – Kinerja perdagangan Indonesia diperkirakan mengalami penurunan pada bulan ini. Menurut sejumlah analis ekonomi, surplus neraca dagang RI akan turun. Estimasi terbarunya berada di angka US$2,9 miliar. Angka ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Maret lalu, surplus tercatat sebesar US$3,5 miliar. Penurunan dipicu oleh beragam faktor eksternal. Salah satunya adalah harga komoditas global yang mulai terkoreksi. Di sisi lain, impor bahan baku dan barang modal meningkat. Hal itu mengerek nilai impor dan menggerus selisih surplus. Pemerintah tetap optimistis kinerja ekspor bisa kembali pulih dalam waktu dekat.
Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas unggulan. Batu bara, minyak sawit, dan nikel menyumbang porsi besar ekspor nasional. Sayangnya, harga komoditas global menunjukkan tren penurunan. Harga batu bara misalnya turun sekitar 12 persen dalam sebulan. Begitu juga dengan minyak sawit yang menurun 8 persen. Ketika harga komoditas melemah, nilai ekspor otomatis ikut terdampak. Volume ekspor memang masih stabil, tetapi nilai jualnya berkurang. Negara tujuan utama ekspor seperti Tiongkok dan India mengurangi permintaan. Hal ini berdampak langsung pada nilai total ekspor Indonesia bulan ini.
“Baca Juga : Mentan Luncurkan Brigade Pangan Jaga Ketahanan Nasional”
Sementara ekspor menurun, impor justru menunjukkan peningkatan. Terutama untuk bahan baku industri dan barang modal. Pabrik-pabrik besar di Indonesia mulai meningkatkan produksi. Kegiatan ini mendorong permintaan terhadap komponen impor. Mesin, suku cadang, dan bahan kimia mendominasi lonjakan impor. Selain itu, nilai tukar rupiah yang relatif stabil membuat impor lebih terjangkau. Meskipun mengurangi surplus, impor jenis ini dianggap positif. Artinya, sektor manufaktur nasional tengah bersiap untuk ekspansi. Pemerintah menyatakan hal ini mencerminkan pemulihan ekonomi. Namun, tetap diperlukan kewaspadaan agar defisit tidak terjadi ke depan.
Para ekonom dari berbagai lembaga keuangan memberikan analisis yang beragam. Rata-rata memproyeksikan surplus akan menyempit. Kisaran prediksinya antara US$2,7 hingga US$3,1 miliar. Bank Indonesia juga mencermati kondisi ini dengan hati-hati. Mereka menekankan pentingnya menjaga keseimbangan eksternal. Jika tekanan eksternal terus berlanjut, intervensi di pasar valuta mungkin diperlukan. Namun, BI juga melihat sisi positif dari kenaikan impor barang modal. Hal itu dinilai mendukung investasi dan pertumbuhan jangka menengah. Selama inflasi terkendali dan neraca transaksi berjalan tetap positif, ekonomi dinilai tetap stabil.
“Simak juga: Kalsium dari 5 Makanan Ini Bisa Membantu Kekuatan Tulang Anda”
Kondisi global sangat memengaruhi performa neraca dagang Indonesia. Ketidakpastian geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah berdampak pada pasar energi. Perubahan kebijakan suku bunga di Amerika Serikat juga mempengaruhi nilai tukar. Semua ini membuat pasar ekspor Indonesia mengalami tekanan. Selain itu, perlambatan ekonomi di Tiongkok turut berdampak. Negeri Tirai Bambu adalah mitra dagang utama Indonesia. Saat mereka mengurangi permintaan bahan baku, ekspor kita langsung turun. Pemerintah terus memantau perkembangan global ini. Mereka berupaya menjaga daya saing produk ekspor nasional di tengah ketidakpastian pasar.
Pemerintah tidak tinggal diam menghadapi potensi penurunan surplus. Berbagai strategi telah disiapkan oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Salah satunya dengan memperluas pasar ekspor ke negara-negara nontradisional. Pasar Afrika dan Timur Tengah mulai dilirik lebih serius. Selain itu, hilirisasi industri terus didorong untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Produk mentah seperti nikel diolah lebih lanjut di dalam negeri. Dengan begitu, nilai ekspor menjadi lebih tinggi dan stabil. Pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi industri ekspor. Diharapkan langkah-langkah ini mampu menjaga stabilitas neraca dagang nasional.