iNews Complex – Aplikasi berbagi video populer, TikTok, kembali menghadapi ancaman larangan di Amerika Serikat. Pemerintah AS mendesak ByteDance, induk perusahaan TikTok yang berbasis di China, untuk menjual asetnya sebelum 19 Januari 2025. Dengan alasan kekhawatiran keamanan nasional, ByteDance berada di bawah tekanan untuk mematuhi peraturan ini atau menghadapi larangan total. Namun, isu ini bukan sekadar konflik bisnis; ini juga menyangkut kebebasan berekspresi lebih dari 170 juta pengguna TikTok di AS. Perpanjangan waktu 90 hari yang diusulkan oleh Senator AS mungkin menawarkan kesempatan bagi ByteDance untuk mencari solusi, tetapi apa yang sebenarnya dipertaruhkan? Artikel ini mengupas situasi hukum, politik, dan implikasi jangka panjang dari konflik antara ByteDance dan pemerintah AS.
“Baca juga Shin Tae-yong Optimis Laga Indonesia vs Filipina”
ByteDance telah menjadi sorotan pemerintah AS sejak 2020 karena dugaan risiko keamanan nasional. Pemerintah AS mengklaim bahwa TikTok mengumpulkan data pengguna Amerika, termasuk lokasi dan pesan pribadi, yang berpotensi dimanfaatkan oleh pemerintah China.
Departemen Kehakiman AS menyatakan bahwa ByteDance, melalui TikTok, memberikan “ancaman keamanan nasional yang mendalam.” Dugaan ini melibatkan kemampuan aplikasi untuk memengaruhi konten yang dilihat pengguna AS secara diam-diam. Hal ini, menurut pemerintah, memberikan ByteDance keunggulan strategis yang dapat membahayakan kepentingan nasional AS.
ByteDance dan para penggunanya terus melawan keputusan pemerintah melalui jalur hukum. Pada bulan Mei 2024, perusahaan tersebut bersama influencer media sosial menggugat undang-undang yang memaksa penjualan TikTok.
CEO TikTok, Shou Zi Chew, menyatakan bahwa langkah selanjutnya adalah meminta peninjauan oleh Mahkamah Agung AS. “Kami berharap Mahkamah Agung akan melindungi hak kebebasan berbicara jutaan pengguna kami,” ujar Chew dalam memo internal kepada staf TikTok. ByteDance mengklaim bahwa larangan TikTok didasarkan pada “informasi yang salah dan hipotetis,” yang berujung pada penyensoran langsung.
American Civil Liberties Union (ACLU) mengecam putusan pengadilan yang mendukung larangan tersebut. Patrick Toomey, Wakil Direktur Proyek Keamanan Nasional ACLU, menilai larangan ini sebagai pelanggaran terhadap Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melindungi kebebasan berekspresi.
Tidak hanya ByteDance, pemerintah China juga mengecam langkah AS. Pada Maret 2024, Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa undang-undang ini melanggar prinsip persaingan yang adil. “Logika perampok seperti ini mengancam keadilan perdagangan internasional,” kata Wang Wenbin, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China.
Jika larangan ini diberlakukan, lebih dari 170 juta pengguna TikTok di AS akan kehilangan akses ke platform yang mereka gunakan untuk mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan dunia. Ini juga dapat memengaruhi komunitas kreator konten yang mengandalkan TikTok untuk pendapatan.
Konflik ini mencerminkan ketegangan geopolitik yang lebih luas antara AS dan China. Langkah ini berpotensi memperburuk hubungan bilateral dan menciptakan preseden baru untuk regulasi perusahaan teknologi asing.
Perpanjangan waktu 90 hari yang diusulkan para senator AS memberikan ByteDance ruang untuk merundingkan solusi. Namun, dengan ancaman larangan yang membayangi, masa depan TikTok di Amerika tetap tidak pasti. Bagaimana pemerintah dan pengadilan AS menangani isu ini akan menentukan arah kebebasan berekspresi dan regulasi teknologi di masa depan.