iNews Complex – Pemerintah kembali menegaskan arah baru dalam sistem pendidikan nasional. Salah satu fokus utama adalah pembaruan Ujian Nasional atau UN. Kini, pendekatan yang digunakan tidak lagi menekankan hafalan. Sebaliknya, ujian akan menguji kompetensi siswa dalam berpikir kritis dan problem solving. Hal ini disampaikan langsung oleh pejabat Kementerian Pendidikan dalam sebuah konferensi pers. Perubahan ini diharapkan mendorong pendidikan yang lebih relevan dan adaptif.
UN versi lama menitikberatkan pada ingatan jangka pendek siswa. Banyak siswa merasa terbebani karena harus menghafal banyak materi. Dengan sistem baru, pertanyaan akan bersifat kontekstual dan berbasis situasi nyata. Siswa akan diminta memahami permasalahan lalu memberikan solusi. Ini dinilai lebih sesuai dengan kebutuhan abad 21. Perubahan ini mencakup semua mata pelajaran utama di jenjang SMP dan SMA.
“Baca Juga : Gizi Balita Masih Jadi Masalah, Fahira Idris Angkat Bicara”
UN baru akan mengusung pendekatan HOTS sebagai fondasi penyusunan soal. Soal-soal tidak lagi menanyakan fakta semata, melainkan menantang siswa berpikir mendalam. Mereka akan diminta menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi dari kasus nyata. Pendekatan ini menyesuaikan dengan standar pendidikan internasional. Di banyak negara maju, kompetensi menjadi ukuran keberhasilan belajar.
Dengan perubahan sistem ujian, maka guru pun perlu mengubah metode pengajaran. Pembelajaran di kelas harus lebih interaktif dan berbasis diskusi. Guru didorong menciptakan lingkungan belajar yang menumbuhkan rasa ingin tahu. Mereka juga perlu membiasakan siswa menyelesaikan soal berbasis studi kasus. Pemerintah akan memberikan pelatihan kepada guru agar mampu beradaptasi. Kurikulum Merdeka menjadi pijakan penting dalam transformasi ini.
“Simak juga: Menu Makan Mie Instan Tetap Sehat Tidak Gemuk, Lho Kok Bisa?”
Selain UN, pemerintah juga mengembangkan Asesmen Nasional sebagai alat evaluasi sistem pendidikan. Asesmen ini tidak hanya mengukur prestasi akademik, tapi juga karakter dan literasi. Siswa akan diuji dalam aspek numerasi, literasi, dan survei karakter. Hasil asesmen digunakan untuk memperbaiki proses belajar, bukan menghukum siswa. Ini memperlihatkan arah baru pendidikan yang lebih manusiawi dan adil.
Sebagian besar orang tua mendukung perubahan ini, meski masih butuh waktu untuk memahami sistem baru. Mereka berharap anak tidak lagi stres karena harus hafal materi dalam waktu singkat. Siswa pun menyambut baik karena merasa pembelajaran jadi lebih nyata dan bermakna. Namun, ada juga yang merasa bingung karena sistem ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Sosialisasi menyeluruh dibutuhkan agar semua pihak paham arah kebijakan ini.
Meski konsepnya bagus, implementasi UN baru menghadapi tantangan besar, khususnya di daerah. Beberapa sekolah belum memiliki fasilitas yang memadai. Koneksi internet lemah dan akses pelatihan guru terbatas. Pemerintah pusat menjanjikan dukungan teknis dan pendampingan khusus bagi wilayah 3T. Ini dilakukan agar kesetaraan pendidikan bisa tetap dijaga di seluruh Indonesia.
Teknologi akan memainkan peran penting dalam pelaksanaan UN baru. Ujian akan dilakukan secara digital untuk efisiensi dan pengawasan. Platform daring disiapkan dengan sistem keamanan berlapis. Ini mencegah kebocoran soal dan menjamin integritas proses ujian. Selain itu, teknologi memungkinkan soal bersifat adaptif, menyesuaikan dengan kemampuan siswa. Ini memberikan pengalaman ujian yang lebih adil dan menantang.
Kementerian Pendidikan sudah memulai program pelatihan untuk guru, kepala sekolah, dan pengawas. Pelatihan ini fokus pada penyusunan soal HOTS dan penerapan pembelajaran aktif. Selain itu, buku panduan dan modul pelatihan disebarkan secara daring. Kegiatan ini juga melibatkan perguruan tinggi sebagai mitra pelatihan. Harapannya, dalam dua tahun ke depan, seluruh sekolah siap melaksanakan UN baru secara penuh.
Perubahan ini hanyalah awal dari transformasi pendidikan jangka panjang. Pemerintah berkomitmen mewujudkan sistem pendidikan yang menumbuhkan kreativitas dan karakter. UN baru bukan sekadar ujian, tapi bagian dari budaya belajar yang bermakna. Siswa tidak hanya dituntut tahu, tapi juga mampu berpikir dan berbuat. Inilah langkah menuju Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan sebagai visi besar bangsa.