iNews Complex – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah mengklaim bahwa Thailand dan Kamboja sepakat menghentikan pertempuran di wilayah perbatasan. Pernyataan itu disampaikan pada Jumat (12/12/2025), menyusul eskalasi konflik yang telah menelan korban jiwa dan memaksa ratusan ribu warga mengungsi. Trump menyebut kedua negara setuju menghentikan seluruh penembakan mulai malam itu dan kembali pada kesepakatan damai sebelumnya. Ia juga menyinggung peran Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam proses tersebut. Klaim ini langsung menarik perhatian internasional, karena konflik Thailand–Kamboja bukan hanya persoalan bilateral, tetapi juga menyangkut stabilitas kawasan Asia Tenggara. Di tengah ketegangan geopolitik global, pernyataan Donald Trump menghadirkan secercah harapan bahwa dialog dan kesepakatan masih mungkin terjadi.
Dampak Konflik bagi Warga Sipil di Perbatasan
Di balik klaim politik dan diplomasi tingkat tinggi, konflik Thailand–Kamboja meninggalkan luka mendalam bagi warga sipil. Bentrokan di wilayah perbatasan dilaporkan menewaskan sekitar 20 orang dan memaksa lebih dari 500.000 warga meninggalkan rumah mereka. Sekolah ditutup, ladang ditinggalkan, dan kehidupan sehari-hari berubah menjadi ketidakpastian. Di tempat pengungsian, keluarga hidup dengan keterbatasan, bergantung pada bantuan darurat. Anak-anak tumbuh dalam suasana takut dan tidak menentu. Transisi dari kehidupan normal ke kondisi pengungsian terjadi begitu cepat. Situasi ini mengingatkan bahwa konflik antarnegara selalu membawa konsekuensi kemanusiaan yang besar. Bagi warga di perbatasan, perdamaian bukan soal strategi geopolitik, melainkan kebutuhan mendesak untuk kembali hidup aman dan bermartabat.
“Baca Juga : Gaji Pas-pasan, Mimpi Kaya Tetap Nyata: Mengikuti Jejak Bijak Warren Buffett”
Keinginan Warga Thailand untuk Dialog Langsung
Sebagian warga Thailand berharap perdamaian dicapai melalui dialog langsung antara Bangkok dan Phnom Penh. Jirasan Kongchan, pengungsi asal Provinsi Buriram, menyuarakan harapannya agar kedua negara berbicara secara terbuka tanpa ketergantungan pada mediasi asing. Menurutnya, dialog bilateral yang jelas dan tegas akan menciptakan rasa saling percaya. Ia juga menilai bahwa jika kesepakatan kembali dilanggar, ASEAN seharusnya turun tangan dengan langkah konkret, termasuk sanksi. Pandangan ini mencerminkan keinginan warga agar solusi datang dari kawasan sendiri. Di mata masyarakat perbatasan, perdamaian yang berkelanjutan hanya bisa terwujud jika kedua negara saling menghormati komitmen. Aspirasi warga ini menunjukkan bahwa diplomasi tidak hanya milik elite politik, tetapi juga harapan rakyat yang terdampak langsung.
Suara Pengungsi Kamboja yang Mendambakan Kedamaian
Di sisi lain perbatasan, pengungsi Kamboja juga menyambut kabar gencatan senjata dengan penuh harap. Choeun Samnang, warga yang mengungsi di Provinsi Banteay Meanchey, mengaku lega mendengar bahwa Trump telah menghubungi pemimpin Thailand dan mendorong kepatuhan pada deklarasi bersama. Baginya, yang terpenting adalah mengakhiri kekerasan dan memastikan kedua negara bisa hidup berdampingan secara damai. Ia tidak ingin melihat perang terus berlanjut dan merenggut masa depan generasi muda. Pernyataan ini mencerminkan kesamaan harapan di kedua sisi perbatasan. Meski berasal dari negara berbeda, para pengungsi berbagi keinginan yang sama: keamanan, stabilitas, dan kesempatan untuk pulang ke rumah. Suara mereka menjadi pengingat bahwa perdamaian selalu berakar pada kebutuhan manusia paling dasar.
“Simak Juga : Kebakaran Pasar Bersejarah St Petersburg: Api yang Menghanguskan Memori Kota”
Peran Amerika Serikat dan Dinamika Diplomasi Regional
Amerika Serikat, bersama China dan Malaysia, sebelumnya telah terlibat dalam upaya menengahi gencatan senjata pada gelombang awal konflik Thailand–Kamboja. Pada Oktober 2025,Donald Trump bahkan mendukung deklarasi bersama lanjutan dan mengaitkannya dengan kesepakatan perdagangan baru. Namun, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa perdamaian rapuh. Thailand sempat menangguhkan perjanjian setelah tentaranya terluka akibat ranjau darat. Situasi ini menggambarkan betapa kompleksnya diplomasi regional, di mana kepentingan keamanan, politik, dan ekonomi saling berkelindan. Klaim Trump tentang kesepakatan damai kembali menempatkan AS sebagai aktor penting, meski efektivitasnya bergantung pada komitmen nyata kedua negara. Diplomasi internasional dapat membuka jalan, tetapi implementasi tetap berada di tangan pihak yang berkonflik.
Sikap Kamboja dan Tuntutan Ketulusan Thailand
Pemerintah Kamboja sebelumnya telah menyatakan kesiapan untuk bernegosiasi kapan pun demi mengakhiri konflik perbatasan. Penasihat senior Perdana Menteri Kamboja, Hun Mat, menekankan pentingnya komunikasi langsung dan cepat antara kedua pihak. Namun, dari sisi Thailand, muncul tuntutan agar Kamboja menunjukkan ketulusan dengan mengambil langkah awal meredakan ketegangan. Perbedaan sikap ini menunjukkan bahwa meski ada klaim gencatan senjata, kepercayaan masih menjadi isu utama. Transisi dari konflik menuju perdamaian membutuhkan lebih dari sekadar pernyataan publik. Dibutuhkan tindakan nyata, konsistensi, dan kemauan politik yang kuat. Di tengah tarik ulur ini, harapan warga sipil tetap menjadi alasan utama mengapa dialog dan kompromi harus terus diperjuangkan.